Saturday, June 14, 2025
spot_img
HomeGagasanMenemukan Kembali Makna Kurban di Tengah Narasi yang Monoton

Menemukan Kembali Makna Kurban di Tengah Narasi yang Monoton

Setiap Idul Adha tiba, kita nyaris selalu mendengar kisah yang sama: tentang Nabi Ibrahim A.S. dan putranya, Nabi Ismail A.S. Tentang pengorbanan, keikhlasan, dan ketundukan total pada kehendak Ilahi. Narasi ini diulang dari mimbar ke mimbar, dari khutbah hingga siaran televisi, nyaris tanpa variasi makna.

Tentu saja, kisah tersebut adalah fondasi spiritual yang luar biasa. Namun, muncul pertanyaan penting: apakah tidak ada tafsir lain yang lebih kontekstual dan menyentuh realitas kita hari ini? Apakah perayaan Idul Adha tidak bisa dihadirkan dengan semangat yang lebih membumi, menyala, dan relevan dengan persoalan umat?

Ada empat hal yang menurut saya perlu direnungkan kembali dalam upaya memaknai Hari Raya Kurban secara lebih aktual.

Ketauhidan dan Korban yang Terlupakan

Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar (kedua) di dunia, kita patut berbangga. Namun dalam praktik sehari-hari, ketauhidan itu sering kali tereduksi menjadi simbol semata. Seperti diingatkan Karl Marx dan Friedrich Engels, manusia bisa saja secara teologis bertauhid, namun dalam hidupnya tetap tunduk pada berhala-berhala duniawi seperti kekuasaan, uang, dan status sosial.

Lihat bagaimana sebagian masyarakat rela mengorbankan harta secara berlebihan hanya demi anak masuk sekolah favorit atau perguruan tinggi negeri yang tak jarang justru melalui jalur nepotisme dan praktik koruptif. Bukankah ini bentuk pengorbanan yang justru menjauh dari makna spiritual kurban itu sendiri?

Kesabaran yang Salah Tempat

Kita diajarkan bahwa kesabaran adalah kebaikan. Namun, apakah kesabaran tetap relevan ketika berhadapan dengan ketidakadilan yang nyata? Saat korupsi merajalela, jurang ekonomi melebar, eksploitasi sumber daya tak terkendali, dan arogansi kekuasaan tak terbendung, menariknya, kita justru sering diminta untuk “sabar”.

Namun, kesabaran yang tidak kontekstual bisa menjelma menjadi sikap pasif yang membiarkan ketimpangan merajalela. Ironisnya, banyak dari pelaku ketidakadilan itu adalah mereka yang secara lisan fasih bersyahadat, bahkan berkhotbah tentang makna pengorbanan Nabi Ibrahim.

Stagnasi dalam Spiritualitas

Perayaan Idul Adha sering kali terjebak dalam rutinitas seremoni. Narasinya berhenti pada kisah klasik yang diulang tanpa perluasan makna. Padahal, dakwah semestinya bersifat dinamis, reflektif, dan kreatif, sebagaimana Islam yang sejak awal adalah agama yang memerdekakan dan mencerdaskan.

Kita memerlukan lebih dari sekadar pengulangan kisah. Kita butuh penafsiran yang menyentuh realitas zaman, menggugah kesadaran sosial, dan memperluas cakrawala spiritual. Seperti air yang diam tak bisa digunakan untuk bersuci, spiritualitas yang stagnan tidak akan menyucikan hati dan tak mampu membimbing umat keluar dari problem kemanusiaannya.

Menjembatani Realitas dan Religiusitas

Hari ini, dunia menyaksikan banyak tragedi kemanusiaan: Palestina, Yaman, dan berbagai belahan bumi lain yang masih dihantui perang dan ketidakadilan. Di dalam negeri, ketimpangan sosial kian dalam. Bank Dunia mencatat Koefisien Gini Indonesia naik dari 0,303 pada tahun 2000 menjadi 0,379 per Maret 2024, yang menandakan jurang antara si kaya dan si miskin yang terus melebar.

Makna kurban yang sejati bukanlah sekadar ritual penyembelihan, melainkan ajaran empati sosial dan keberpihakan pada yang lemah. Sebagian dari harta kita adalah hak orang lain. Di momen Idul Adha, sudah semestinya kita berbagi lebih dari sekadar daging. Kita perlu berbagi akses pada pendidikan, kesehatan, dan kehidupan yang lebih adil.

Perayaan kurban seharusnya menjadi panggilan untuk membangun solidaritas yang nyata. Bukan sekadar simbol, melainkan komitmen untuk menyembelih ego, kerakusan, dan ketidakpedulian yang selama ini menyumbat kepedulian sosial kita.

Sudah saatnya para dai, khatib, dan cendekiawan Muslim menyegarkan kembali pesan spiritual dalam khutbah mereka. Ingatkan para dermawan untuk berbagi lebih banyak. Ingatkan masyarakat bahwa makna Idul Adha bukan sekadar soal pengorbanan dan kesabaran dalam kisah lampau. Ingatkan para penguasa untuk bersikap adil dan lebih banyak berkorban untuk rakyat bukan “menari” di atas kemewahan sembari “menginjak” hak-hak dasar rakyat yang tak kunjung terpenuhi. Tarik dan dedah khutbah dan pesan religi tahunan menjadi juga tentang akal sehat, keadilan sosial, dan keberanian untuk menantang ketimpangan.

Idul Adha adalah momentum spiritual yang besar. Namun makna sejatinya hanya akan hadir jika mampu menjawab tantangan zaman, menyentuh nurani, dan mendorong lahirnya kepekaan sosial.

Barangkali, kurban yang paling diperlukan hari ini bukanlah hewan semata. Melainkan menyembelih kemapanan semu yang melahirkan ketimpangan. Dan mulai membagikan lebih banyak empati bagi sesama manusia. Semoga.

 

PRAJA FIRDAUS NURYANANDA

Akademisi dan Ketua Pembina Yayasan Abyakta Acitya Bhumi

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular