Tuesday, December 2, 2025
spot_img
HomeGagasanDilema Pencabutan Izin AI dan Moral Panics di Tengah Kebisingan Teknologi

Dilema Pencabutan Izin AI dan Moral Panics di Tengah Kebisingan Teknologi

Perdebatan mengenai pencabutan izin sejumlah layanan artificial intelligence atau akal imitasi (AI) di Indonesia belakangan ini memperlihatkan sesuatu yang lebih dari sekadar persoalan teknis regulasi. Ia menunjukkan dinamika yang jauh lebih dalam yaitu bagaimana negara, masyarakat, dan otoritas pengetahuan merespons disrupsi teknologi yang bergerak lebih cepat daripada kerangka etika dan epistemologinya. Keputusan untuk menertibkan atau membatasi akses AI bukan hanya isu kebijakan, melainkan cermin bagaimana kita memaknai pengetahuan, kebenaran, dan rasa aman dalam lanskap teknologi yang semakin bising. Pada titik ini, diskursus filsafat ilmu menjadi relevan untuk membaca kegelisahan publik maupun negara.

Fenomena moral panics atau kepanikan sosial berlebihan terhadap ancaman baru, cenderung muncul ketika teknologi berkembang terlalu cepat dan sulit dipahami secara luas. AI generatif, dengan kemampuan menulis, menggambar, menganalisis data, hingga memprediksi perilaku, mudah memicu kebingungan sekaligus kecemasan. Banyak orang merasa terancam, bukan hanya pekerjaannya, tetapi juga otoritas moral, sosial, dan intelektualnya. Dalam konteks Indonesia, “kebisingan teknologi” ini diperkuat oleh derasnya informasi tanpa klarifikasi memadai seperti adanya video manipulatif, pandangan tentang potensi bias AI, hingga kecemasan bahwa AI akan mengambil alih fungsi pemerintah dan lembaga publik.

Ketika kebisingan semacam itu tidak diimbangi pemahaman yang memadai, tercipta ruang subur bagi moral panics. Masyarakat lebih mudah melihat AI sebagai ancaman eksistensial daripada persoalan etis dan teknis yang dapat dikelola. Situasi ini sering memaksa pemerintah bergerak reaktif dengan mengambil langkah-langkah pengamanan drastis, termasuk pembatasan atau pencabutan izin sementara. Dari perspektif kehati-hatian, kebijakan tersebut tampak rasional, namun juga berisiko lahir sebagai respons yang lebih digerakkan oleh tekanan psikologis dan politik ketimbang analisis ilmiah yang matang.

Dalam kacamata filsafat ilmu, persoalan utama moral panics adalah terganggunya proses produksi dan validasi pengetahuan. Karl Popper, melalui falsifikasinya, menegaskan bahwa pengetahuan tumbuh lewat kritik terbuka serta uji empiris berulang. Kebenaran tidak tercapai melalui larangan atau pengendalian berlebihan; ia berkembang melalui keberanian untuk menguji, mempertanyakan, dan memverifikasi. Jika teknologi AI dibatasi sebelum benar-benar dipahami, proses epistemik untuk menguji kegunaan, risiko, dan batasannya justru terhambat.

AI generatif hari ini bukan hanya alat, melainkan entitas epistemik baru yang memproduksi, mengubah, dan menyebarkan informasi dalam skala besar. Dari sudut pandang epistemologi, ini menantang konsep tradisional mengenai siapa yang berwenang memproduksi pengetahuan. Dalam dunia analog, institusi akademik, pemerintah, dan media adalah “penjaga gerbang” kebenaran. Namun AI mengaburkan batas tersebut. Karena itu, pencabutan izin AI dapat dipahami sebagai upaya negara untuk merebut kembali kontrol epistemik yang mulai terdisrupsi.

Dari perspektif aksiologi, refleksi tentang nilai pun layak diajukan. Apakah pembatasan itu lebih banyak memulihkan nilai publik atau justru mengorbankan peluang kemajuan? AI memiliki potensi besar untuk riset ilmiah, pelayanan publik, pendidikan, kesehatan, dan pengelolaan kota. Menghentikan atau mempersempit aksesnya dapat memperlambat inovasi sekaligus memperlebar kesenjangan digital antara Indonesia dan negara lain yang lebih progresif.

Meski demikian, pencabutan izin AI bukan berarti sepenuhnya irasional. Pemerintah memiliki tanggung jawab etis untuk melindungi warga dari penyalahgunaan teknologi seperti manipulasi data, deepfake, pelanggaran privasi, atau penyebaran informasi tidak akurat. Dalam konteks ini, kebijakan pembatasan dapat dibaca sebagai ekspresi prinsip kehati-hatian, yakni mencegah dampak negatif yang belum terpetakan sembari memberi waktu bagi pembuat kebijakan dan masyarakat untuk mengenali risiko. Namun agar langkah tersebut tidak jatuh menjadi kebijakan berbasis ketakutan publik, dibutuhkan dasar analitis kuat, kajian ilmiah terbuka, dan mekanisme evaluasi transparan.

Idealnya, kebijakan teknologi baru tidak berhenti pada “rem darurat”, tetapi diikuti “peta jalan” yang jelas. Pemerintah perlu melibatkan ilmuwan, filsuf ilmu, pakar etika, pelaku industri, dan organisasi masyarakat sipil untuk merumuskan kerangka regulasi AI yang proporsional. Pendekatan ini sejalan dengan semangat filsafat ilmu yang menekankan pentingnya dialog kritis dan intersubjektivitas, di mana kebenaran serta keputusan publik yang baik tidak lahir dari satu otoritas tunggal, melainkan dari pertukaran argumen rasional dalam ruang publik.

Karena itu, yang dibutuhkan bukanlah larangan menyeluruh, melainkan regulasi adaptif dan responsif yang mengarahkan penggunaan AI tanpa mematikannya. Kita harus menghindari jebakan moral panics yang memicu kebijakan terburu-buru, dan sebaliknya membangun sistem governance yang peka terhadap risiko sekaligus mendorong inovasi.

Dilema pencabutan izin AI pada dasarnya adalah dilema antara ketakutan dan pengetahuan. Negara harus berhati-hati, tetapi juga berani. Masyarakat perlu kritis, namun tetap terbuka. Dan ilmu pengetahuan harus hadir sebagai penuntun, bukan penonton. Masa depan AI di Indonesia sangat bergantung pada kemampuan kita keluar dari kebisingan teknologi menuju ruang diskusi yang rasional, reflektif, dan berorientasi ke depan. Jika pada akhirnya regulasi memutuskan melarang bentuk-bentuk AI tertentu, publik perlu memahami bahwa yang seharusnya disasar bukan “AI” secara abstrak, tetapi kelas risiko tertentu, seperti sistem untuk manipulasi politik berbasis deep fake, eksploitasi ekonomi melalui penipuan berbantuan AI, atau otomatisasi ujaran kebencian dan disinformasi dalam skala masif. Pilihannya kini berada di tangan para pembuat kebijakan, akademisi, dan masyarakat sipil, apakah kita akan terus bereaksi berdasarkan ketakutan, atau menjadikan kontroversi AI sebagai peluang untuk memperkuat literasi epistemik, memperdalam dialog etika teknologi, dan membangun kebijakan publik yang berlandaskan nalar, bukan sekadar kegaduhan. Semoga.

 

THALITA RIFDA KHAERANI

Mahasiswa Program Doktoral FISIP Universitas Airlangga

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular