
‘Pemimpin pelayan adalah pemimpin yang mengutamakan melayani… Dimulai dengan perasaan alami bahwa seseorang ingin melayani, melayani terlebih dahulu.’ – Robert K. Greenleaf (1904-1990), Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness (1970)
Drama politik yang melibatkan Zulkifli Hasan(63), atau Zulhas, kembali menyeruak ke ruang publik setelah video dirinya mengangkat sekarung besar dan menyekop lumpur pasca banjir di Sumatra dan Aceh beredar luas di media sosial.
Aksi yang dimaksudkan sebagai simbol kepedulian justru ditafsirkan berbeda oleh publik maupun netizen yang dikenal dengan tagarnya, “Mahabenar netizen dengan segala kutukannya.“
Netizen menilai tindakan itu bukanlah ekspresi empati, melainkan panggung pencitraan yang dangkal.
Dalam perspektif semiotika Umberto Eco (1932-2016), semiotikus asal Italia, gestur Zulhas dapat dibaca sebagai tanda yang kehilangan makna asli.
Bukannya merepresentasikan solidaritas, ia justru menjadi simulakra politik yakni sebuah citra yang lebih menekankan pada visualisasi heroisme ketimbang substansi kepedulian.
Semiotika publik di Indonesia juga dikenal memiliki tradisi panjang dalam membongkar gestur politik yang tampak sederhana namun sarat makna.
Publik tidak hanya membaca tindakan pejabat sebagai peristiwa faktual, melainkan sebagai tanda yang mengandung lapisan simbolik yang sering dangkal dan mengecoh publik.
Ketika seorang politisi mengangkat karung, menyekop lumpur, atau sekadar hadir di lokasi bencana, publik segera menafsirkan apakah gestur itu tulus atau sekadar panggung pencitraan.
Dalam konteks ini, semiotika berfungsi sebagai “mesin pembongkar makna.” Umberto Eco menekankan bahwa tanda tidak pernah netral; ia selalu terbuka untuk ditafsirkan ulang oleh audiens.
Di Indonesia, audiens politik adalah masyarakat yang terbiasa dengan praktik pencitraan -setidaknya, sejak pencalonan Jokowi pada Pilpres 2014, politik pencitraan marak hingga kini; dari harga kemeja, celana murah dan masuk gorong-gorong- sehingga mereka cepat menangkap ketidaksesuaian antara simbol yang ditampilkan dan realitas empati yang diharapkan.
Benny H. Hood (1936-2015), profesor FIB UI, dalam “Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya” (2008), menegaskan bahwa tanda-tanda sosial di ruang publik Indonesia sering kali mengalami “pergeseran makna” karena interaksi antara budaya lokal, media, dan politik.
Hood, ayah dari musisi Anto Hood (61) dan suami dari anggota parlemen Gerindra, Melly Goeslaw (51), menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki sensitivitas tinggi terhadap simbol yang diproduksi oleh elit, sehingga gestur politik mudah dibaca sebagai sandiwara bila tidak konsisten dengan pengalaman sehari-hari rakyat.
Kritik publik terhadap Zulhas adalah contoh nyata bagaimana semiotika publik bekerja yaitu tanda karung dan sekop tidak lagi dibaca sebagai kepedulian, melainkan sebagai representasi nir empati.
Fenomena ini bukan kasus tunggal. Kita bisa melihat pola serupa dalam berbagai peristiwa politik dimana pejabat yang mendadak turun ke pasar, ikut menanam padi, atau tampil dalam aksi simbolik lain.
Publik segera membongkar gestur itu, menafsirkannya sebagai “politik panggung” bila tidak diikuti kebijakan nyata.
Dengan kata lain, semiotika publik di Indonesia berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial dimana ia menyingkap jarak antara simbol dan substansi, antara citra dan empati.
Ringkasnya, drama Zulhas memperlihatkan bagaimana semiotika publik di Indonesia bekerja secara kritis dan kolektif.
Publik tidak sekadar menonton, tetapi menafsirkan, membongkar, dan mengkritik.
Seperti yang diingatkan Benny H. Hood, dinamika sosial budaya Indonesia membuat tanda politik selalu rentan dibaca ulang, dan dalam kasus Zulhas, pembacaan ulang itu menghasilkan kecaman luas yang menegaskan bahwa kepemimpinan sejati tidak bisa sekadar dipentaskan.
Kecaman yang masif terhadap perilaku Zulhas membuka kembali arsip masa lalunya.
Sebagai Menteri Kehutanan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2009–2014), nama Zulhas pernah terseret dalam sorotan internasional ketika aktor Harrison Ford (83), aktor Hollywood dan aktivis lingkungan membuat short movie, “Years of Living Dangerously”(2013).
Film dokumenter ini hendak menyingkap kerusakan jutaan hektar hutan akibat banjir di Sumatera dengan glondongan kayu dari Taman Nasional Tesonilo, dan praktik oligarki mendiang DLS dalam menguasai lahan hutan empat juta hektar untuk industri penamaman sawit.
Dalam narasi publik, Zulhas menjadi satu-satunya pejabat yang kala itu disorot keras selain Menteri Kehutanan saat ini, Raja Juli, yang pernah heboh karena kedekatannya dengan para taipan pemalak hutan.
Sejarah ini memperkuat persepsi bahwa Zulhas lihai memainkan peran politik, namun seringkali gagal menghadirkan kepemimpinan yang berakar pada nilai empati.
Sebagai respons atas gelombang kritik, Zulhas memilih jalur komunikasi baru dimana ia mengutus stafnya untuk menyampaikan hak jawab melalui podcast populer Curhat Bang Densu milik Denny Sumargo (44).
Dengan dukungan data BPS, Zulhas berusaha menegaskan bahwa tindakannya bukan sekadar pencitraan. Namun, hasilnya justru memperlihatkan jurang antara niat dan penerimaan publik.
Dalam lima hari, tayangan itu ditonton hampir sejuta kali dengan lebih dari 16.000 komentar yang sebagian besar tetap mengecam.
Dalam kerangka semiotika, upaya klarifikasi ini gagal mengubah makna tanda yang sudah terbentuk di benak publik dimana simbol karung dan sekop tetap terbaca sebagai sandiwara politik.
Jika ditilik melalui lensa servant leadership, perilaku Zulhas semakin problematis.
Kepemimpinan yang melayani menuntut kehadiran yang tulus, mendengar penderitaan rakyat, dan mengutamakan kebutuhan mereka di atas kepentingan citra diri.
Aksi mengangkat karung dan menyekop lumpur, meski dramatis, tidak menampilkan kualitas mendasar dari seorang pemimpin pelayan.
Ia lebih menyerupai panggung teatrikal yang menempatkan rakyat sebagai latar, bukan subjek utama.
Di sinilah kritik publik menemukan pijakannya dimana Zulhas dianggap gagal menghadirkan empati yang otentik.
Dalam wawancara dengan Denny Sumargo, Zulhas sempat menegaskan bahwa dirinya hanya ingin menunjukkan kerja nyata.
Ia mengaku terbiasa bekerja keras sejak kecil sebagai putra tertua dari keluarga petani di Lampung.
Narasi asal-usul ini seharusnya bisa menjadi modal simbolik yang kuat untuk membangun kepemimpinan berbasis empati.
Namun, dalam praktik politik kontemporer, narasi itu seringkali tereduksi menjadi sekadar legitimasi personal, bukan etos kepemimpinan yang konsisten.
Drama Zulhas memperlihatkan bagaimana tanda, simbol, dan gestur politik dapat berbalik arah ketika publik membacanya dengan kecurigaan.
Dalam era keterbukaan informasi, setiap aksi pejabat tidak lagi hanya dinilai dari niat, melainkan dari resonansi makna yang ditangkap masyarakat.
Zulhas mungkin bermaksud menunjukkan kepedulian, tetapi semiotika publik membacanya sebagai pencitraan nir empati.
Refleksi ini menegaskan bahwa kepemimpinan sejati bukanlah panggung simbolik, melainkan praktik konsisten yang menempatkan rakyat sebagai pusat, bukan sekadar latar drama politik.
REINER EMYOT OINTOE (ReO)
Fiksiwan



