Saturday, December 6, 2025
spot_img
HomeGagasanBencana Bukan Panggung Pencitraan

Bencana Bukan Panggung Pencitraan

Peristiwa bencana alam senantiasa memicu kesedihan kolektif dan ketidakpastian yang mendalam. Dalam konteks situasi seperti yang baru-baru ini terjadi di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, masyarakat mengharapkan kehadiran negara sebagai kekuatan pemulihan, bukan semata-mata sebagai arena untuk menampilkan kepahlawanan yang bersifat instan. Namun, observasi menunjukkan bahwa pola yang lazim digunakan kembali terulang dimana para pejabat dan elit politik mendatangi lokasi bencana dengan penampilan yang teatrikal, disertai dengan rombongan media, gestur dramatis, serta produksi foto dan video yang segera didistribusikan melalui akun-akun anonim. Narasi yang dibangun bukanlah simpati yang substansial, melainkan glorifikasi diri, sebuah praktik komunikasi politik yang semakin kehilangan relevansinya dan mulai ditolak oleh masyarakat.

Paradigma pencitraan konvensional ini bersandar pada logika pemampangannya yaitu semakin sering muncul di publik, semakin dianggap berkontribusi. Padahal, lanskap komunikasi politik pasca reformasi, yang diperkuat oleh era digital yang sangat transparan, menuntut pergeseran dari politik simbolik menuju politik substantif yaitu politik yang tidak hanya terlihat, tetapi juga terasakan manfaatnya. Ketika para politisi menjadikan bencana sebagai panggung, publik tidak hanya mengamati gestur fisik, tetapi juga membaca motif di baliknya. Motif pencitraan di tengah penderitaan korban merupakan sebuah bentuk disonansi etis yang sulit diterima oleh masyarakat pada era kontemporer.

Dalam kerangka komunikasi politik mutakhir, kehadiran pejabat di lokasi bencana dipandang sebagai tindakan performatif yang memiliki makna simbolik, namun makna tersebut seyogianya diarahkan pada solidaritas, bukan konsumsi visual semata. Kehadiran yang terlalu berlebihan dalam pementasan, dengan keberadaan kamera yang merata, pengulangan pose, hingga reka adegan mengangkat karung bantuan, justru menciptakan jurang pemisah baru antara pejabat dan rakyat yang disebut jurang keaslian atau authenticity gap. Di era pasca kebenaran, publik telah sangat terampil dalam membedakan mana simpati yang tulus dan mana yang bersifat teatrikal. Pejabat seharusnya hadir untuk bekerja, mendengarkan, mengamati secara langsung kebutuhan di lapangan, bukan untuk menciptakankonten yang viral. Kehadiran yang tidak terlalu “ditonton” justru akan lebih meyakinkan karena menimbulkan kesan keseriusan, bukan sensasi.

Komunikasi politik saat terjadi bencana menuntut akurasi yang tinggi. Pejabat tidak diperkenankan hanya menyampaikan pernyataan normatif atau retorika belas kasihan. Mereka harus menyajikan data faktual yakni jumlah korban, peta kerusakan, kebutuhan paling mendesak, jadwal bantuan, serta melakukan koordinasi dengan berbagai instansi terkait. Langkah-langkah faktual ini akan menghasilkan dua dampak positif, yaitu membangun kepercayaan publik, karena informasi yang disampaikan tidak sekadar janji melainkan berdasarkan verifikasi dan mencegah disinformasi, terutama di ruang media sosial, yang kerap memicu kepanikan.

Para politisi yang muncul dengan retorika bombastis tanpa detail operasional hanya akan memperluas skeptisisme publik. Transparansi data merupakan manifestasi dari tanggung jawab moral sekaligus teknokratis.

Kesalahan paling umum dalam komunikasi politik terkait kebencanaan adalah keberadaan pejabat hanya pada fase awal untuk tujuan eksposur semata, kemudian menghilang ketika perhatian media telah mereda. Padahal, publik justru menilai pejabat berdasarkan keberlanjutan tindakan yaitu kelangsungan upaya pasca sorotan publik meredup. Keberlanjutan tindakan mencakup pemantauan yang konsisten, tindak lanjut dalam upaya rehabilitasi, evaluasi terhadap penanganan yang dilakukan dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran bencana.

Dalam kerangka komunikasi politik, tindakan yang berkelanjutan akan membangun kepercayaan relasional yaitu kepercayaan yang tercipta dari konstruksi hubungan jangka panjang, bukan dari penampilan sesaat. Publik lebih menghargai pejabat yang turun tangan berkali-kali tanpa kehadiran media, dibandingkan dengan satu kali kehadiran yang disertai rombongan pers.

Bencana adalah ranah kesedihan, bukan arena pertunjukan. Sensitivitas korban harus menjadi prioritas etika dalam komunikasi politik. Mengambil foto korban tanpa persetujuan, memaksa mereka untuk berfoto bersama, atau menjadikan duka mereka sebagai latar belakang unggahan pejabat di Instagram adalah bentuk ketidakpekaan moral. Dalam teori etika komunikasi atau ethical communication, setiap pesan harus mempertimbangkan dampak terhadap subjek komunikasi. Bencana bukanlah panggung dramatis. Korban bukanlah objek visual semata. Mereka adalah manusia yang hak-hak batinnya wajib dihormati.

Pejabat atau politisi yang mampu menjaga sensitivitas akan memperoleh legitimasi moral yang kokoh. Sebaliknya, politisi yang mengeksploitasi penderitaan akan kehilangan kepercayaan dalam jangka panjang, meskipun secara elektoral mereka masih populer.

Komunikasi politik di era digital tidak lagi dapat mengandalkan pencitraan visual yang artifisial. Publik kini jauh lebih kritis, lebih cepat dalam melakukan analisis, dan lebih mampu membedakan antara upaya nyata dengan upaya yang dirancang untuk kamera. Bencana seharusnya menjadi momentum untuk mengkonsolidasikan kemanusiaan dan kapabilitas negara, bukan menjadi ruang bagi estetika politik. Para pejabat perlu mengubah paradigma: dari pertanyaan “bagaimana saya terlihat,” menjadi “apa yang telah saya lakukan untuk mereka yang terdampak.” Pada akhirnya, sejarah akan mencatat bukan pada seberapa banyak foto yang diambil saat pejabat mengunjungi lokasi bencana, melainkan pada seberapa banyak nyawa yang terselamatkan, seberapa cepat proses pemulihan berlangsung, dan seberapa besar empati yang benar-benar terwujud.

Bencana bukanlah panggung untuk membangun citra. Bencana adalah panggilan dari lubuk hati. Dan komunikasi politik harus kembali pada tujuan fundamentalnya, yaitu melayani publik, bukan melayani ego. Semoga.

 

HENDRO ARYANTO

Mahasiswa Program Doktoral FISIP Universitas Airlangga

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular