Tuesday, April 22, 2025
spot_img
HomeSosial BudayaHistoriMbah Canthing Rejoso: Dari Laskar Pangeran Diponegoro Ke Perjuangan Kultural

Mbah Canthing Rejoso: Dari Laskar Pangeran Diponegoro Ke Perjuangan Kultural

Nama asli tokoh ini adalah Tumenggung Sri Moyo Kusumo. Gelar tumenggung di depan namanya menunjukkan cukup tinggi derajat dari trah bangsawan Jawa Islam. Biasanya, gelar tumenggung dipakai seorang kepala daerah di wilayah yang relatif jauh dari ibu kota kerajaan atau wilayah perbatasan.

Gelar tumenggung di Jawa, bersinonim dengan gelar marquess untuk derajat keningratan di Kerajaan Inggris. Jabatan itu setara dengan komandan batalyon tentara. Biasanya satu batalyon berkekuatan sekitar 1.000 pasukan bersenjata.

Hilangkan Jejak

Sebelum Perang Jawa meletus di tahun 1825-1830, dia menjadi pejabat yang bertugas menikahkan masyarakat di wilayah Kerajaan Mataram Islam. Ketika Pangeran Diponegoro memberontak VOC Belanda di tahun 1825, dia akhirnya menggabungkan diri ke laskar pribumi.
Peter BR Carey (2014) mencatat, di samping nama Tumenggung Sri Moyo Kusumo, ada sebanyak 108 kiai, 31 haji, 15 syaikh, 12 penghulu dan 4 kiai guru dari Yogyakarta bergabung ke dalam laskar Pangeran Diponegoro. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap tahun 1830, anggota laskar ini menyebar dan mendirikan basis-basis perlawanan.

Strategi perlawanan kepada Belanda diubah dari fisik menjadi kultural. Seperti melakukan perlawanan kultural melalui gerakan literasi dan memperkuat pemahaman keagamaan terhadap masyarakat. Mereka berpencar ke penjuru mata angina, kemudian menyebar dan berdiaspora dalam meneruskan kaderisasi. Meski Zainul Milal Bizawie dalam buku Jejaring Ulama Diponegoro (2019) mengakui keberhasilan strategi ini akan memakan waktu lama.

Tumenggung Sri Moyo Kusumo bersama beberapa rekannya, setelah Pangeran Diponegoro diasingkan ke Sulawesi, kemudian melarikan diri. Saat sampai di wilayah Nganjuk, keberadaannya diendus pasukan Belanda. Penangkapan rombongan mereka hampir berhasil.
Namun mereka tetap berhasil melarikan diri berpencar. Tumenggung Sri Moyo Kusumo sendiri terkena peluru senapan pasukan Belanda. Dia melarikan diri ke arah utara. Setelah sembuh, dia berdomisili di daerah tersebut hingga akhir hayatnya.
Makamnya dikenal oleh warga sekitar Desa Mlorah dengan nama Mbah Canthing. Lokasinya berada di pojok’an desa. Untuk mengenang nama Mbah Canthing sebagai anggota laskar Diponegoro, jalan yang menghubungkan ke makamnya dinamakan Jalan Pangeran Diponegoro. Secara administratif lokasi ini masuk ke dalam RW 01 Desa Mlorah.

Era 1980-an, di atas makam Mbah Canthing masih ditemukan dua batu nisan kuno. Di sebelahnya terdapat sumur tua yang jernih airnya. Menurut Damis (2017), keturunan keempat Mbah Canthing, kedua batu nisan dan sumur itu sekarang raib entah kemana.

Para keturunan Mbah Canthing mayoritas berdomisili di Desa Mlorah. Meski tidak tinggal dalam satu kawasan tertentu. Baik dari anak Mbah Canthing bernama Ngalinem, Marijan, Madinem maupun Simah.

Kompleks Makam Mbah Canthing. (foto: Mukani)

Bukan Sosok Sembarangan

KH Riyanto (2019) mengaku belum lama tinggal di sekitar lokasi makam Mbah Canthing. Karena warga Mlorah meyakini bahwa pekarangan itu sangat angker, bahkan di siang hari sekalipun. Meski siang hari, banyak warga tidak berani untuk sekedar lewat di gang kecil itu.
Awal mula keberanian Kiai Riyanto menempati tanah itu juga membutuhkan waktu lama. Dirinya mengaku harus meminta bantuan kepada guru dan teman-temannya dari Pesantren Sewulan Madiun sebelum menempati tanah tersebut.
Pada tahun 1969, Kiai Rianto sebenarnya sudah mengetahui jika makam ini bukan sembarangan. Karena saat itu dirinya melihat masih ada batu nisan kuno dua secara berdampingan. Dia menduga itu adalah makam sepasang suami istri. Baru di tahun 1998, kedua batu nisan itu sudah hilang dan diganti batu besar, untuk mengganti batu nisan itu.

Setelah beberapa hari tinggal di rumah sederhananya, kejadian aneh menimpanya. Pohon besar yang ada di sebelah makam Mbah Canthing roboh diterjang hujan lebat bercampur angin kencang suatu sore. Untungnya pohon itu tidak menimpa bangunan rumahnya yang berada persis di selatan mushala.

Malam harinya dirinya tidur seperti biasa. Namun sekitar tengah malam, antara sadar dan tidur, dia diajak keluar rumah. Dalam ingatannya, dia seolah didatangi kakek tua berjenggot putih panjang yang mengenakan pakaian kebesaran Kerajaan Mataram.

Postur tubuhnya tinggi besar dengan memakai tutup kepala khas kerajaan. Dia bertanya tentang alasannya berani tinggal di sini. Kiai Riyanto menjawab bahwa dirinya hanya ingin merawat lokasi pekarangan itu dengan baik. Dari pada lokasi itu tidak ada yang mengurusi.
Dia menambahkan hendak mendirikan mushala untuk mengaji bagi anak-anak kecil warga sekitar. Lalu, kakek itu tersenyum dan mempersilahkan dirinya meneruskan niat itu. Selanjutnya, sang kakek tua itu pergi menghilang entah kemana.

Dari kejadian itu, Kiai Riyanto semakin mantap untuk tinggal di situ sambil mendirikan mushala. Setiap malam Jumat Pahing, dirinya bersama jama’ah mushala mengundang beberapa murid pengajian dari desa sekitar untuk tahlilan setelah Maghrib. Lokasinya di joglo timur makam Mbah Canthing.

Salah satu tujuannya adalah mengirim doa kepada arwah Mbah Canthing. Ini dikarenakan Mbah Canthing berjasa besar dalam babat alas bagi pendirian Desa Mlorah. Pemilihan rutin malam Jumat Pahing karena diakui itu adalah “hari kelahiran” Desa Mlorah. Sedangkan pengajian rutin yang dibentuknya digelar setiap Selasa malam Rabu secara bergantian di rumah para anggota yang semuanya ibu-ibu. Kalau di mushalanya yang dihadiri banyak jama’ah dari beberapa kecamatan atau desa sekitar itu digelar setiap malam Jumat Kliwon.

Para tetangga area makam juga menegaskan kehebatan Mbah Canthing. Di lokasi sekitar makam Mbah Canthing tidak bisa kotor dan selalu bersih. Tidak ada dedaunan yang jatuh di atas makamnya. Padahal di sekitar area makam penuh dengan rimbun bambu dan pepohonan yang menjulang tinggi.

Salah satu warga sekitar mengkisahkan hal senada. Suatu saat dirinya pernah bekerja membuat tanggul sungai di utara makam Mbah Canthing. Saat salah satu temannya hendak kencing di area makam Mbah Canthing, diperingatkan kalau di situ ada makam kuno. Namun sang temannya tetap bandel hingga tetap saja kencing di situ. Akhirnya, lebih dari sepuluh hari dia tidak bisa kencing.

Ketika diperiksakan ke dokter, didiagnosis tidak ada penyakit yang diderita. Atas nasehat salah satu tokoh agama, sang teman dinasehati agar “meminta maaf” kepada Mbah Canthing. Caranya dengan menggelar tahlil di sekitar makam. Setelah nasehat dilakukan, sang temannya diakui sembuh total dan beraktivitas sebagaimana biasanya.

Soal kehebatan Mbah Canthing, Kiai Riyanto mengakui hal ini. Diceritakan olehnya pada tahun 2004, ada seorang residivis buron Polda Jatim kasus penipuan yang lari ke lokasi itu. Sang buron sengaja dilindunginya, karena berjanji akan bertaubat dengan menyerahkan diri ke pihak yang berwajib.

Saat itu sudah banyak polisi masuk ke gang arah area makam. Termasuk satu group polisi mengepung dari arah barat (Dusun Jati). Namun mereka semuanya kembali lagi dengan tangan hampa. Kata mereka tidak menemukan apa-apa, seolah hanya terlihat hutan belantara.

Itu juga dilakukan Kiai Riyanto saat salah satu perangkat desa dulu yang akan ditangkap polisi terkait kasus utang piutang. Sang oknum menyendiri di sekitar makam Mbah Canthing. Banyak polisi ke situ mencarinya. Namun semua polisi tidak ada yang tahu.

Padahal dirinya melihat sang oknum perangkat desa duduk-duduk di tengah halaman sebelah makam. Kelihatannya, diakui Kiai Riyanto, di area tanahnya Mbah Canthing punya kesaktian untuk menghalau pandangan.

Namun hal ini disalahgunakan oleh para oknum. Makam Mbah Canthing dianggap keramat dan bisa memberikan keberuntungan. Para penggila judi, sebelumnya sering sanggup bertahan hingga larut malam untuk mencari angka togel. Istilahnya grandong. Ini yang disayangkan oleh Kiai Riyanto, sehingga mendorong dirinya untuk menghentikan kesalahpahaman ini dengan tinggal di area itu.

Kini selain mushala, di sekitar makam Mbah Canthing didirikan gedung TPQ. Juga beberapa ruang belajar madrasah diniyah (madin). Juga bangunan gazebo untuk mengaji. Itu sebagai ikhtiyar menjaga spirit Mbah Canthing dalam membangun masyarakat sekitar.

 

MUKANI

Dosen STIT Urwatul Wutsqo Bulurejo Jombang

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular