Oleh: Khoirul Fata*

SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Kabut tipis masih menggantung di atas lembah Tegalsari, Ponorogo, pagi ini. Di antara rimbun pepohonan, menara tua Pesantren Gebang Tinatar tampak berdiri anggun. Dari halaman pesantren yang tenang itu, aroma sejarah seolah menyeruak, mengingatkan kembali masa ketika ilmu dari Timur Tengah berlayar jauh, lalu berlabuh di tanah Jawa.
Pada era 1820-an, Tegalsari adalah lentera keilmuan yang menyala terang di jagat pesantren Nusantara. Di bawah asuhan Kyai Ageng Hasan Besari, pesantren ini menjadi pusat ilmu dan adab yang melahirkan banyak ulama besar. Namun, di balik riuh santri yang menekuni kitab kuning, Tegalsari juga menyimpan kisah besar yaitu pertemuan antara dunia pesantren Nusantara dengan keilmuan Al-Azhar Mesir.
Kisah itu bermula dari seorang santri muda bernama Abdul Manan Dipomenggolo, sang murid kinasih Kyai Hasan Besari. Setelah menimba ilmu di Tegalsari, Abdul Manan melanjutkan rihlah intelektualnya ke Mekkah dan kemudian ke Universitas Al-Azhar, Kairo di Mesir. Di sanalah ia menjadi bagian dari “komunitas santri Jawi”, para pelajar asal kepulauan Melayu (Nusantara) yang menuntut ilmu di jantung peradaban Islam.
Catatan KBRI Kairo dalam buku Potret Hubungan Indonesia-Mesir menyebutkan bahwa Kyai Abdul Manan mukim di Ruwaq Jawi Al-Azhar pada masa Grand Syaikh Ibrahim Bajuri (1847–1860). Ruwaq Jawi adalah asrama kecil, namun punya makna besar yakni sebagai tempat berkumpulnya pelajar Nusantara yang kelak menjadi penghubung antara Al-Azhar dan pesantren-pesantren di tanah air.
Tak heran bila kemudian kitab-kitab karya Syaikh Ibrahim Bajuri, seperti Fath al-Mubin yang merupakan syarah atas Umm al-Barahin dan Jauharat al-Tauhid, menjadi bagian penting dari kurikulum Tegalsari. Kitab-kitab itu mengajarkan bukan hanya ilmu aqidah, tapi juga ketekunan dan adab ilmiah khas Al-Azhar yang hidup dalam kultur pesantren Jawa.
Jejak kitab itu hingga kini masih bisa dilacak. Di PP Darul Rohmah Gandu Mlarak, asuhan Gus Muhammad Ulil Albab, cucu dari dzuriyah (keturunan) Kyai Nido Besari, kitab Fath al-Mubin masih dikaji dengan khidmat. Begitu pula di Dar Ridho Sawuh Siman, di bawah asuhan Gus Muhammad Asvin, Rektor INSURI Ponorogo yang juga keturunan Kyai Hilal Sambit. Dari langgar-langgar kecil hingga pondok tua, suara santri yang melantunkan matan kitab seakan menjadi gema dari abad yang lalu.
Selain Fath al-Mubin, banyak pula kitab lain yang menunjukkan kuatnya transmisi sanad Al-Azhar di Tegalsari seperti Sittin Mas’alah karya Imam Muhammad Zahid al-Misri, Hasyiyah Dasuqiy ‘Ala Syarh Umm al-Barahin karya Imam Dasuqiy al-Mishri, dan Al-Minhaj al-Qawim karya Ibnu Hajar al-Haitami al-Misri. Semuanya menjadi bukti nyata betapa pesantren-pesantren di Ponorogo telah lama berdialog dengan tradisi keilmuan Al-Azhar.
Kini, dua abad setelah masa itu, hubungan lama itu kembali dirajut. Pada Sabtu (8/11/2025) mendatang, Tegalsari akan menjadi saksi pertemuan bersejarah yaitu Pameran Manuskrip Tegalsari dan Ijazahan Dalail Khoirot bersama Syaikh Prof. Dr. Ibrahim al-Asymawi, Guru Besar Hadis dari Al-Azhar Mesir. Acara yang digagas oleh Asparagus Ponorogo dan Ikatan Alumni Al-Azhar Indonesia (Mataraman) ini diharapkan menjadi momentum spiritual sekaligus intelektual untuk menghidupkan kembali tali sanad ilmu yang pernah menghubungkan Tegalsari dan Kairo.
Kiai-kiai sepuh di Ponorogo menyebutnya sebagai “silaturahim sanad”. Sebuah pertemuan yang bukan sekadar mengenang masa lalu, melainkan menghidupkan kembali mata rantai ilmu, adab, dan ruh keislaman yang bersumber dari sumber yang sama, Nur al-‘Ilm, cahaya ilmu yang menyinari hati para penuntut kebenaran.
Dan ketika malam turun di Tegalsari, suara santri membaca Dalailul Khoirot bergema di antara temaram lampu minyak. Mungkin di sanalah, dalam suasana sederhana namun sarat makna itu, sanad ilmu antara Al-Azhar dan Tegalsari kembali berdenyut, menandai bahwa warisan keilmuan Islam tidak pernah mati.
*) Penulis adalah Pengurus Ikatan Alumni Al-Azhar Indonesia (IAAI) Wilayah Mataraman



