
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) mendorong masyarakat korban bencana ekologis di Pulau Sumatera untuk menempuh gugatan hukum secara kolektif melalui mekanisme class action. Langkah ini dinilai relevan menyusul belum ditetapkannya bencana tersebut sebagai bencana nasional, di tengah tingginya korban jiwa, kerugian ekonomi yang besar, serta dugaan kuat bahwa kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia memperparah dampak bencana.
Hingga lebih dari tiga pekan pascabencana, data berbagai lembaga mencatat sedikitnya 1.022 orang meninggal dunia dan sekitar 250 orang dinyatakan hilang. Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp 68,67 triliun, sebagaimana dihitung Center for Economic and Law Studies (Celios). Namun, penanganan bencana dinilai belum optimal dan masih banyak bergantung pada inisiatif masyarakat sipil.
Di sejumlah wilayah, termasuk Aceh, keterbatasan kapasitas penanggulangan bencana mendorong pemerintah daerah mengajukan permohonan bantuan internasional. Kondisi ini memunculkan kritik terhadap lambannya respons negara dalam menetapkan status bencana nasional, yang berdampak pada keterbatasan mobilisasi sumber daya.
Ketua FKBI Tulus Abadi menilai bencana ekologis di Sumatera tidak dapat dipandang semata sebagai akibat cuaca ekstrem. Ia merujuk pernyataan mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikora Karnawati yang menyebutkan bahwa faktor kerusakan lingkungan, terutama deforestasi, berkontribusi besar terhadap skala dan daya rusak bencana.
“Jika hanya dipicu faktor cuaca, dampaknya tidak akan sedahsyat ini. Hilangnya tutupan hutan akibat pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan memperbesar risiko bencana,” kata Tulus di Jakarta, Jumat (19/12/2025).
Menurut FKBI, kondisi tersebut membuka ruang hukum bagi masyarakat korban untuk menuntut pertanggungjawaban melalui gugatan publik, baik dalam bentuk class action, gugatan warga negara (citizen lawsuit), maupun gugatan legal standing oleh organisasi masyarakat sipil. Instrumen hukum ini telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta diperkuat melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2003 tentang Gugatan Perwakilan Kelompok.
Gugatan publik tersebut, kata Tulus, dapat diarahkan secara tanggung renteng kepada para pembuat kebijakan, mulai dari pemerintah pusat hingga daerah, serta kepada korporasi yang diduga terlibat dalam praktik deforestasi. Gugatan juga dapat menyasar kebijakan perizinan yang dinilai abai terhadap daya dukung lingkungan.
Selain menuntut ganti rugi materiil dan immateriil, gugatan publik diharapkan menjadi instrumen koreksi kebijakan agar praktik pemberian izin perambahan hutan tidak terus berulang. “Gugatan ini juga bertujuan mendorong pemulihan lingkungan dan pengembalian fungsi hutan melalui reboisasi,” ujar Tulus.

Sinyal ke arah gugatan publik mulai terlihat. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Aceh, misalnya, telah menginisiasi gugatan warga negara terkait bencana ekologis tersebut. FKBI menilai langkah ini dapat diperluas melalui mekanisme class action, mengingat karakter bencana yang terjadi secara serentak, menimbulkan kerugian serupa, dan berdampak pada korban dalam jumlah besar.
FKBI mengingatkan bahwa gugatan publik bukanlah hal baru dalam sistem hukum Indonesia. Gugatan class action pernah dilakukan dalam kasus banjir Jakarta 2002, kenaikan harga elpiji 12 kilogram, serta kecelakaan kereta api di Brebes, Jawa Tengah. Sementara gugatan legal standing oleh organisasi masyarakat sipil juga telah beberapa kali diajukan dalam isu kebijakan publik dan perlindungan konsumen.
“Masih ada ruang dan waktu bagi korban untuk menempuh jalur hukum. Gugatan publik bukan semata soal kalah atau menang, melainkan upaya menegakkan akuntabilitas dan tanggung jawab ekologis,” kata Tulus.
FKBI berharap, melalui mekanisme hukum tersebut, pemerintah, korporasi, dan seluruh pemangku kepentingan dapat menghentikan praktik perusakan hutan serta melakukan pemulihan lingkungan secara berkelanjutan. Upaya itu dinilai penting untuk mengembalikan fungsi hutan Sumatera sebagai penyangga kehidupan dan salah satu paru-paru Indonesia.(*)
Kontributor: Tommy
Editor: Abdel Rafi



