Apel Akbar yang mempertemukan kader Ansor-Banser dan TNI di Surabaya, Ahad 13 April lalu, menyajikan pemandangan menggugah. Ribuan orang menyaksikan suasana hangat nan heroik, yang menyiratkan ikatan historis antara rakyat dan militer. Dalam momen itu, Ketua Umum GP Ansor, H. Addin Jauharudin, menyampaikan pidato yang menekankan pentingnya persatuan nasional, mengulas sejarah panjang kolaborasi antara Banser dan kekuatan bersenjata sejak era Resolusi Jihad.
Kesan yang muncul sangat kuat: bahwa TNI dan rakyat—terutama kalangan santri—pernah menjadi satu kesatuan jiwa dalam mempertahankan kemerdekaan. Namun dalam euforia itu, kita perlu berhenti sejenak. Momen-momen seperti ini harus dimaknai bukan hanya sebagai romantisme sejarah, tetapi juga sebagai refleksi yang tajam atas perjalanan bangsa, terutama relasi sipil-militer yang panjang dan berliku.
Tak terbantahkan, santri dan pesantren memainkan peran signifikan dalam perjuangan kemerdekaan. Resolusi Jihad yang dikeluarkan Hadratussyekh Hasyim Asy’ari pada Oktober 1945 menjadi pemantik moral dan spiritual bagi laskar-laskar rakyat di Surabaya. Di sanalah, pertempuran 10 November meledak sebagai simbol nasionalisme dan pengorbanan.
Namun, penting dicatat bahwa dalam momentum itu, TNI—dalam bentuk lembaga resmi—belum terbentuk. Perlawanan terhadap pasukan Sekutu dilakukan oleh elemen-elemen sipil bersenjata: eks-PETA, Laskar Pemuda, kelompok-kelompok agama, dan warga sipil yang merebut senjata dari tangan Jepang.
Baru pada 5 Oktober 1945 dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang kemudian bertransformasi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) setelah proses integrasi berbagai kekuatan bersenjata rakyat. Artinya, perlawanan awal terhadap kolonialisme bukan dimonopoli oleh struktur militer resmi, melainkan oleh semangat kolektif rakyat yang merasa tanah airnya terancam.
Dalam pembentukan militer nasional, peran Wakil Presiden Mohammad Hatta tidak dapat diabaikan. Hatta, yang mewakili suara sipil dan pemikiran modernis, menyadari pentingnya militer yang profesional dan tunduk pada otoritas sipil. Di akhir 1945, ia menggagas program “Rera” (Reorganisasi dan Rasionalisasi) untuk mengurangi jumlah pasukan tidak terlatih dan membangun struktur militer yang efisien, disiplin, dan berada dalam kendali negara, bukan militer itu sendiri.
Langkah Hatta mencerminkan prinsip universal dalam demokrasi: militer yang kuat harus berada di bawah pengawasan sipil, agar tidak menjelma menjadi kekuatan otonom yang mengancam negara itu sendiri. Di sinilah pentingnya kita terus mengingat fondasi awal negara ini, yakni keinginan untuk membentuk sistem yang demokratis dan menjunjung supremasi sipil.
Dwifungsi dan Bayang-Bayang Masa Lalu
Namun sejarah tidak selalu berjalan lurus. Dalam perjalanannya, relasi sipil-militer di Indonesia mengalami distorsi. Sejak Orde Baru, konsep “kemanunggalan TNI dan rakyat” dipakai untuk melegitimasi kehadiran militer di hampir seluruh ruang kehidupan sipil: dari pemerintahan daerah, birokrasi, kampus, hingga organisasi masyarakat.
Dalam doktrin Dwifungsi ABRI, militer bukan hanya alat pertahanan negara, tetapi juga aktor politik dan pembangunan. Akibatnya, lahirlah praktik-praktik yang menempatkan militer tidak hanya sebagai pelindung republik, tetapi juga sebagai pemain utama dalam panggung kekuasaan.
Di sinilah pentingnya kita membaca ulang narasi “kemanunggalan.” Apakah benar kemanunggalan berarti hilangnya batas antara sipil dan militer? Ataukah kemanunggalan justru menuntut batas yang jelas, agar tidak terjadi subordinasi sipil kepada militer, atau sebaliknya?
Apel Akbar dan Tafsir Ganda
Kegiatan Apel Akbar di Surabaya sejatinya bisa dibaca dari dua sisi. Di satu sisi, ia adalah simbol harmonisasi dan kebersamaan antara dua kekuatan historis bangsa: rakyat sipil (dalam hal ini Ansor-Banser) dan militer (TNI). Namun di sisi lain, ia juga bisa ditafsirkan sebagai pertunjukan simbolik yang membawa ingatan kita pada masa ketika kemanunggalan dijadikan justifikasi bagi campur tangan militer dalam urusan sipil.
Maka penting untuk menempatkan momen-momen seperti ini dalam konteks yang tepat. Apel gabungan bukan sekadar seremoni atau nostalgia sejarah. Ia adalah refleksi tentang relasi kekuasaan yang terus bergerak di bawah permukaan. Apakah kehadiran TNI dalam ruang sipil hari ini merupakan bentuk solidaritas, atau tanda-tanda kembalinya bayang-bayang masa lalu?
Kemanunggalan dalam Bingkai Demokrasi
Yang perlu ditegaskan, kemanunggalan sejati tidak bertumpu pada dominasi atau subordinasi, tetapi pada kerja sama yang setara dan konstitusional. Kemanunggalan tidak boleh dimaknai sebagai pembauran peran yang meleburkan identitas sipil dan militer. Sebaliknya, kemanunggalan yang sehat lahir dari saling menghormati batas dan tanggung jawab masing-masing.
TNI adalah alat negara di bidang pertahanan, bukan alat politik. Sementara masyarakat sipil—termasuk santri dan kader muda NU—berperan sebagai penyangga nilai-nilai demokrasi dan etika publik. Dalam konteks ini, kader Ansor-Banser memiliki tugas sejarah: bukan sekadar menjaga keamanan lingkungan, tetapi juga menjaga agar prinsip-prinsip demokrasi tidak tergerus oleh romantisme kekuasaan.
Santri, Nilai Sipil, dan Tantangan Hari Ini
Sebagai kader Ansor, kita mewarisi semangat jihad konstitusional yang diperjuangkan oleh para ulama dan pejuang sipil. Kita tidak sedang melawan penjajah asing seperti 1945. Tapi kita sedang menghadapi ancaman yang tak kalah berbahaya: kaburnya batas antara sipil dan militer, antara kekuasaan dan rakyat, antara negara dan masyarakat.
Di tengah gempuran populisme, militerisme simbolik, dan nostalgia Orde Baru, kita dituntut lebih cermat membaca arah angin. Santri tidak boleh hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga pembentuk arah sejarah. Maka ketika narasi kemanunggalan dikumandangkan, kita bertanya: dalam kerangka apa? Untuk kepentingan siapa? Dan dengan tujuan apa?
Sejarah memang patut dikenang. Tapi masa depan tidak boleh dibangun di atas ingatan yang selektif. Kita harus memiliki keberanian untuk menetapkan batas, menegakkan prinsip, dan merawat republik ini dalam bingkai konstitusi.
Demokrasi bukan barang usang yang bisa digantikan oleh ketertiban semu. Supremasi sipil bukan ancaman bagi stabilitas, justru ia adalah fondasi dari negara hukum. Dan kemanunggalan yang sehat adalah kemanunggalan yang lahir dari kesadaran bersama, bukan dari ketakutan atau penyeragaman.
TNI adalah bagian dari kita. Tapi rakyat sipil pun bukan sekadar pelengkap. Dalam kesejarahan Indonesia, keduanya memiliki peran masing-masing yang saling menopang—bukan saling mendominasi.
Sebagai kader Ansor, penulis percaya bahwa peran kita bukan hanya sebagai penjaga nilai ke-Islam-an dan kebangsaan, tetapi juga sebagai pengingat bahwa sejarah adalah alat refleksi, bukan hanya alat mobilisasi. Maka mari kita rayakan kemanunggalan dengan cara yang konstitusional, adil, dan kritis. Karena kemerdekaan sejati adalah ketika rakyat dan militer sama-sama tunduk pada hukum, bukan tunduk satu sama lain. Semoga.
AHMAD ZAINUL IHSAN ARIF
Pengurus Ansor University PW GP Ansor Jawa Timur