Di banyak rumah hari ini, pemandangan serupa kerap berulang dimana orang tua dan anak duduk berdekatan, tetapi masing-masing sibuk dengan gawainya. Tidak ada percakapan, tidak ada pertukaran cerita, apalagi dialog mendalam. Yang hadir hanyalah kedekatan fisik tanpa keterlibatan sosial. Fenomena ini menandai perubahan penting dalam pola pengasuhan di era digital dimana orang tua selalu terhubung ke dunia maya, sementara anak justru kian terabaikan secara emosional.
Masalah ini sering direduksi menjadi persoalan etika penggunaan gawai atau lemahnya kontrol diri individu. Padahal, dari perspektif sosiologi, fenomena tersebut merupakan gejala perubahan struktural masyarakat digital yang berdampak serius pada institusi keluarga sebagai fondasi utama pendidikan dan pembentukan karakter.
Dalam sosiologi klasik, keluarga dipahami sebagai agen sosialisasi primer yang menjadi ruang pertama tempat anak belajar nilai, norma, dan makna hidup bersama. Peter L. Berger dan Thomas Luckmann menyebut proses ini sebagai internalisasi, yakni bagaimana realitas sosial ditanamkan melalui interaksi sehari-hari yang berulang dan bermakna. Ketika kualitas interaksi itu terganggu, proses pembentukan identitas anak pun ikut melemah.
Dalam konteks ini, media sosial tidak lagi sekadar alat komunikasi. Ia telah menjelma menjadi agen sosialisasi baru yang secara perlahan menyaingi, bahkan menggantikan, peran orang tua. Algoritma, influencer, dan budaya viral membentuk selera, bahasa, hingga cara berpikir anak yang sering kali tanpa pendampingan kritis dari keluarga. Ironisnya, orang tua justru ikut tenggelam dalam arus yang sama.
Perspektif interaksionisme simbolik, sebagaimana dikemukakan George Herbert Mead, menegaskan bahwa diri anak terbentuk melalui interaksi dengan significant others, terutama orang tua. Anak memahami siapa dirinya melalui perhatian, respons, dan pengakuan yang ia terima. Ketika orang tua lebih sering merespons notifikasi dibandingkan pertanyaan anak, pesan simbolik yang tersampaikan menjadi jelas yaitu anak bukan prioritas utama. Ini bukan semata persoalan waktu, melainkan soal makna dan pengakuan.
Fenomena “orang tua online” juga dapat dibaca melalui kacamata teori konflik sosial. Media sosial beroperasi dalam logika kapitalisme digital yang terus-menerus mengejar perhatian dan keterlibatan. Orang tua, khususnya di kelas menengah perkotaan, terjebak dalam tuntutan untuk selalu produktif, responsif, dan eksis di ruang virtual. Dalam situasi ini, waktu dan energi emosional menjadi sumber daya yang diperebutkan, dan anak kerap berada di posisi yang kalah.
Pierre Bourdieu membantu kita memahami dampak jangka panjang dari kondisi tersebut. Ia menekankan pentingnya modal kultural yang diwariskan keluarga melalui kebiasaan, bahasa, dan pola interaksi. Ketika relasi orang tua-anak menjadi dangkal dan terputus, proses transfer modal kultural pun melemah. Anak mungkin tumbuh dengan kecakapan teknologis, tetapi miskin refleksi, empati, dan kedalaman berpikir yang merupakan kualitas yang justru menentukan keberhasilan pendidikan jangka panjang.
Dalam sosiologi pendidikan, pengabaian orang tua tidak selalu hadir dalam bentuk ekstrem. Ia kerap muncul sebagai pengabaian simbolik dan emosional dimana anak diberi gawai agar “diam”, diberi akses internet tanpa pendampingan, dan dibiarkan mempelajari nilai hidup dari layar. Sekolah pun dipaksa menanggung beban ganda, bukan hanya mentransmisikan pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter yang seharusnya ditanamkan sejak dini di rumah.
Paradoksnya, banyak orang tua mengeluhkan anak yang kecanduan gawai, agresif, atau sulit diatur. Namun dalam proses sosialisasi, keteladanan selalu lebih kuat daripada nasihat. Anak meniru apa yang dilihat, bukan sekadar apa yang didengar. Ketika orang tua terus-menerus menunduk ke layar, itulah pelajaran sosial paling konsisten yang diterima anak.
Dalam masyarakat Indonesia yang secara kultural menjunjung nilai kekeluargaan, kondisi ini seharusnya menjadi alarm sosial. Jika keluarga kehilangan fungsi pendidikannya, kita berisiko melahirkan generasi yang cakap secara digital, tetapi rapuh secara sosial yang mana mereka terbiasa berkomunikasi, tetapi kesulitan membangun relasi; terbiasa berekspresi, tetapi miskin refleksi moral.
Dari sudut pandang fungsionalisme struktural, situasi ini mencerminkan disfungsi institusi keluarga. Ketika satu institusi gagal menjalankan perannya, institusi lain seperti sekolah dan negara, akan menanggung dampaknya. Tidak mengherankan jika kurikulum pendidikan terus dibebani tuntutan pendidikan karakter, sementara akar persoalannya justru berada di ruang domestik yang luput dari perhatian kebijakan.
Karena itu, solusi atas fenomena ini tidak cukup dengan imbauan moral agar orang tua “lebih bijak” menggunakan media sosial. Diperlukan kesadaran sosiologis bahwa teknologi tidak sekadar memfasilitasi relasi sosial, tetapi juga membentuknya. Literasi digital semestinya dimaknai sebagai kemampuan mengendalikan teknologi dalam kehidupan sosial, bukan sekadar kemampuan mengoperasikannya.
Tantangan terbesar masyarakat digital bukanlah kecepatan informasi, melainkan hilangnya kehadiran. Anak tidak membutuhkan orang tua yang selalu terhubung ke dunia maya, melainkan orang tua yang hadir secara utuh di dunia nyata. Jika keluarga gagal merebut kembali peran pengasuhannya, media sosial akan terus mengisi kekosongan itu dengan nilai dan logikanya sendiri. Dan ketika anak lebih banyak belajar dari algoritma ketimbang dari orang tuanya, yang terancam bukan hanya masa depan keluarga, tetapi juga masa depan masyarakat.(*)
KARTONO
Mahasiswa Program Doktoral FISIP Universitas Airlangga




