Thursday, December 18, 2025
spot_img
HomeGagasanKetika Negara Menjadi Beban Psikologis

Ketika Negara Menjadi Beban Psikologis

Beberapa waktu lalu, seorang psikolog membagikan kisah yang sekilas terdengar ganjil, namun justru mengusik. Seorang pasien datang ke ruang terapi bukan karena konflik keluarga, tekanan pekerjaan, atau persoalan relasi personal, melainkan karena negara.

Cerita ini mudah dianggap berlebihan. Namun di situlah letak kegentingannya. Ketika negara sebagai sebuah entitas abstrak, hadir sebagai sumber tekanan psikologis, kita sedang berhadapan dengan gejala sosial yang melampaui sekadar kelelahan mengonsumsi berita atau praktik doomscrolling. Yang terjadi bukan hanya kelelahan informasi, melainkan kelelahan emosional sebagai warga negara.

Selama ini, kelelahan mental kerap dipahami sebagai persoalan individual seperti kurang istirahat, kurang self-care, atau kurang mampu mengelola emosi. Solusinya pun bersifat personal seperti detoks media sosial, olahraga, atau liburan singkat. Pendekatan ini tidak sepenuhnya keliru, tetapi sering kali gagal menyentuh akar persoalan.

Dalam stres yang bersumber dari negara, yang menguras energi bukan semata derasnya arus informasi, melainkan beban emosional dan eksistensial yang menyertainya. Psikologi menyebutnya vicarious trauma atau trauma sekunder. Seseorang tidak perlu menjadi korban langsung bencana, konflik, atau ketidakadilan hukum untuk merasakan dampaknya. Menyaksikan ketidakadilan sistemik yang berulang sudah cukup untuk melukai psikis.

Berita-berita itu tidak berjarak dari kehidupan sehari-hari. Ia menyentuh harga kebutuhan pokok, rasa aman keluarga, masa depan pendidikan, hingga rasa keadilan. Di titik inilah muncul apa yang kerap disebut sebagai civic fatigue atau kelelahan yang lahir bukan karena beban kerja berlebih, melainkan karena hidup terlalu lama dalam ketidakpastian struktural yang tak kunjung tuntas.

Negara yang Hadir sebagai Kabar Buruk

Masalahnya bukan semata banyaknya berita negatif. Tidak ada negara yang steril dari krisis atau kebijakan bermasalah. Yang melelahkan adalah pola komunikasi publik yang membuat negara lebih sering hadir sebagai sumber kecemasan ketimbang kejelasan.

Skandal muncul tanpa penyelesaian yang transparan. Kebijakan diumumkan tanpa empati terhadap dampak sosial dan psikologisnya. Tragedi berulang hadir tanpa rasa penutup atau keadilan. Setiap isu bergerak dalam pola serupa yang ramai, diperdebatkan, lalu menghilang, untuk muncul kembali dalam bentuk lain.

Situasi ini memicu apa yang dikenal sebagai Efek Zeigarnik, kecenderungan manusia untuk terus terbebani oleh persoalan yang belum selesai. Secara psikologis, manusia membutuhkan cognitive closure atau kepastian bahwa sebuah masalah telah dituntaskan, atau setidaknya berada di jalur penyelesaian yang masuk akal.

Ketika yang hadir justru rangkaian isu tanpa ujung, warga dipaksa hidup dalam mode kewaspadaan terus-menerus. Akumulasi dari “tugas berpikir yang tak pernah selesai” inilah yang menguras energi emosional secara perlahan, namun masif.

Kelelahan ini kerap dinormalisasi. Di ruang publik, terselip tuntutan agar warga selalu “kuat” dan tidak mudah tersinggung. Jika merasa lelah, solusi yang sering ditawarkan adalah menjauh dari berita.

Di sinilah terjadi pergeseran tanggung jawab. Dampak emosional dari kebijakan, krisis, dan komunikasi negara dipersonalisasi sebagai persoalan individu. Seolah-olah stres adalah akibat ketidakmampuan mengelola konsumsi informasi, bukan konsekuensi dari sistem yang terus memproduksi kecemasan tanpa jeda.

Kelelahan emosional akhirnya diperlakukan sebagai kelemahan pribadi, bukan sebagai indikator kegagalan struktural dalam mengelola rasa aman publik.

Negara kerap dipahami semata sebagai entitas administratif dan politik. Padahal, ia juga merupakan aktor emosional. Setiap pernyataan pejabat, setiap kebijakan, dan setiap cara krisis dikomunikasikan memiliki dampak psikologis.

Komunikasi publik yang defensif, normatif, atau meremehkan kecemasan warga tidak hanya gagal meredakan situasi, tetapi justru memperpanjang rasa tidak aman. Ketika empati digantikan jargon dan kejelasan digantikan kalimat aman, jarak emosional antara negara dan warga kian melebar.

Dalam jangka panjang, ini bukan hanya soal kepercayaan politik, melainkan juga kesehatan mental kolektif.

Antara Peduli dan Lelah

Fenomena ini menghadirkan dilema moral. Menjauh dari berita kerap dipandang sebagai sikap apatis. Namun terus mengikuti perkembangan justru berisiko menambah beban mental. Warga terjebak antara dua pilihan yang sama-sama tidak ideal yakni peduli tetapi lelah, atau tenang namun merasa bersalah.

Masalahnya bukan pada kepedulian warga, melainkan pada absennya jeda emosional yang sehat dalam kehidupan bernegara. Negara yang baik bukan negara tanpa masalah, melainkan negara yang mampu mengelola krisis tanpa terus-menerus menguras energi psikologis warganya.

Kisah pasien yang stres karena negara tidak seharusnya ditertawakan atau diremehkan. Ia adalah sinyal. Negara telah hadir begitu dekat dalam kehidupan sehari-hari, tetapi kerap tanpa sensitivitas emosional.

Jika ruang terapi mulai dipenuhi kecemasan tentang kebijakan, skandal, dan ketidakpastian struktural, mungkin sudah saatnya kita berhenti bertanya mengapa warga dianggap “terlalu sensitif”. Pertanyaan yang lebih mendasar adalah mengapa menjadi warga negara terasa begitu melelahkan secara emosional.

Menjawabnya menuntut lebih dari sekadar anjuran self-care. Ia menuntut refleksi serius tentang bagaimana negara berkomunikasi, mengambil keputusan, dan, yang sering dilupakan, bagaimana negara memperlakukan emosi warganya.(*)

RANI PRITA PRABAWANGI

Mahasiswa Program Doktoral FISIP Universitas Airlangga

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular