
TRENGGALEK, CAKRAWARTA.com – Rabu (28/5/2025), mentari belum sempurna naik saat bunyi gamelan pelan-pelan mengalun dari Dusun Karanggongso, Desa Tasikmadu. Hari ini menunjukkan langit pesisir Watulimo tampak berbeda—lebih bersahabat, seakan ikut menyambut sebuah peristiwa sakral: Larung Sembonyo, ritual adat yang menyatukan harapan, syukur, dan doa masyarakat pesisir ke dalam gelombang Samudra Hindia.
Tumpeng agung dan hasil bumi diusung dalam prosesi penuh khidmat oleh warga desa, dari balai desa hingga ke bibir Pantai Karanggongso. Tak sekadar tradisi, Larung Sembonyo adalah napas kehidupan bagi masyarakat nelayan: doa keselamatan, ungkapan syukur atas hasil laut, dan permohonan berkah yang dilayarkan dengan tulus ke tengah laut.
Yang membuatnya begitu menyentuh, barisan TNI dan Polri ikut serta bukan sebagai penjaga, tapi sebagai keluarga. Serka Siswanto dari Koramil 0806-07/Watulimo berjalan berdampingan dengan tokoh adat, menyapa warga, membantu membawa sesaji, dan sesekali menenangkan anak-anak yang terlihat terpesona oleh kemeriahan budaya yang begitu hidup.
“Tradisi ini bukan hanya milik warga, tapi milik kita semua. Di dalamnya ada doa, sejarah, dan jati diri bangsa yang harus kita jaga bersama,” ucap Serka Siswanto, matanya menatap lautan seakan ikut menitipkan harap.
Hadir pula anggota Polsek Watulimo yang menyatu dengan kerumunan, tanpa sekat seragam. Di tengah teriknya matahari dan ramainya suasana, terlihat senyum yang tak dibuat-buat, peluh yang dibayar oleh kebersamaan, dan getar rasa persaudaraan yang melampaui tugas dan jabatan.

Ribuan warga memadati pantai, tak sekadar menonton, tapi merasakan—bahwa budaya ini adalah milik mereka, warisan leluhur yang terus dijaga meski zaman bergerak cepat.
Tidak berhenti di laut, semangat Larung Sembonyo juga menggeliat di daratan. Stan UMKM dan pertunjukan seni tradisional menggugah geliat ekonomi lokal. Anak-anak menjajakan kerajinan, ibu-ibu menawarkan kuliner khas pesisir, dan para pemuda menampilkan tari-tarian yang menggambarkan kehidupan nelayan. Trenggalek, hari itu, benar-benar hidup.
“Kami ingin Larung Sembonyo bukan sekadar agenda tahunan, tapi menjadi ruang spiritual dan budaya yang mempersatukan kita semua—rakyat dan negara, warga dan aparat,” tambah Serka Siswanto dengan suara tenang.
Larung Sembonyo adalah pelajaran diam-diam: bahwa di balik sesaji yang mengarungi laut, ada hati-hati yang percaya pada kebersamaan. Dan saat aparat negara memilih untuk hadir bukan sekadar mengamankan, melainkan menyatu dengan denyut kehidupan rakyat, maka lahirlah harmoni yang tak bisa dibeli—hanya bisa dirasakan dan diwariskan.
(Arwang/Rafel)