Saturday, April 20, 2024
HomeGagasanKebijakan Neoliberal dan Keterjajahan Bangsa

Kebijakan Neoliberal dan Keterjajahan Bangsa

Syafril Sjofyan

Adalah pengakuan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro yang mengatakan bahwa kondisi perekonomian Indonesia saat ini mirip dengan kondisi ekonomi Indonesia pada saat dijajah oleh Belanda. Mereka menjarah rempah-rempah dan komoditas lainnya yang dikirim ke negaranya.

Indonesia sewaktu dijajah Belanda sumber daya alam (SDA)nya dikeruk habis terutama saat kebijakan kolonial Belanda yang terkenal yakni tanam paksa. Kondisi tersebut dinilai menyerupai kondisi Indonesia saat ini dimana banyak sekali desakan asing agar Indonesia mengekspor hasil tambangnya dengan menawarkan nilai tambah yang cukup menggiurkan. Tawaran-tawaran tersebut tidak terlepas dari agenda politik yang sudah tersusun rapi.

Pernyataan Bambang Brodjonegoro, sebenarnya sudah sejak lama di permasalahkan oleh Dr. Rizal Ramli, baik ketika berada di luar pemerintahan maupun di dalam pemerintahan sewaktu diminta oleh Presiden Joko Widodo sebagai Menko Kemaritiman. Sewaktu diluar RR -sapaan akrabnya- menjadi ekonom terdepan dan berbeda dengan para ekonom lainnya yg mendukung kebijakan neoliberal. RR sebagaimana diketahui adalah ekonom anti terhadap konsep ekonomi neoliberalisme yang memberikan kebebasan kepada para pemodal untuk menguras kekayaan SDA suatu negara dengan semena-mena.

Sistem ekonomi neoliberal merupakan pintu masuk bagi adanya neokolonialisme, adalah pernyataan yang selalu didengungkan oleh RR.

Ironisnya, para elit gampang disuap oleh asing dengan membuat Undang-Undang (UU) yang menguntungkan bagi perusahaan asing untuk menguras sumber mineral atau kekayaan alam Indonesia.

Salah satu contoh Freeport yang menguras gunung mineral Grasberg (tembaga dan emas) di Papua. Saat ini justru menjadi lembah dengan diameter lebih 2 km, tetapi Indonesia tidak mendapatkan apa-apa.

Sejak tahun 1965, royalti yang didapat terendah dari tambang sejenis di Afrika yang dikelola oleh Freeport sendiri. Untuk saat ini masih saja para elit neoliberal berusaha untuk mempermudah ekspor dan memperpanjang kontrak Freeport.

Padahal jika dikelola sendiri, maka keuntungan diperkirakan melimpah dan sehingga bisa mempercepat meningkatnya kesejahteraan rakyat Indonesia bukan rakyat Amerika Serikat. Kasus Freeport adalah contoh betapa Indonesia sangat kaya dengan potensi tambang emas, namun gagal memanfaatkan kekayaan alam tersebut. Menurut RR karena republik ini banyak komparador asingnya yaitu elit yang bermental inlander dan mudah disuap.

Ketika menjabat sebagai Menko Kemaritiman, RR oleh sebagian pihak dianggap membuat heboh, ketika menyatakan Blok Gas Masela diputuskan di darat. Karena ada keinginan dari berbagai pihak Blok Masela mengikuti keinginan investor asing untuk dikelola di laut, sehingga mereka bisa secara langsung eksport berupa gas. Sementara jika dikelola di darat sebagian bisa diolah menjadi industri petrokimia, industri aromatik, pupuk, pabrik bom/ dinamit, biji plastik, biji poliester dan aneka produk residu lainnya sehingga kita mendapat nilai tambah dan tidak lagi perlu impor untuk kebutuhan barang tersebut. Masyarakat Maluku dan sekitarnya akan mendapat manfaat di bidang pendidikan, ketenagakerjaan, transportasi, pasar dan penginapan.

“Heboh” ketika RR mengumumkan keputusan tersebut, berakibat dirinya “diserang” oleh media dan bahkan juru bicara Presiden, Johan Budi juga ikut membantah pernyataan RR. Untungnya setelah beberapa lama “heboh”, Presiden Joko Widodo akhirnya memutuskan Blok Gas Masela di darat.

Saat ini sepertinya, untuk realisasi proyek Masela “terlihat” pihak investor asing masih mengulur-ulur waktu. Jika mental kita bukanlah mental terjajah sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Bambang Brodjonegoro, daripada Pemerintah menunggu ketidakpastian dari pihak investor asing, mereka harus punya keberanian untuk bisa mengelola sendiri. Indonesia memiliki segudang tenaga ahli di bidang tambang gas untuk pengelolaan di darat dimana selain telah berpengalaman kini para ahli Indonesia tersebut, banyak yang memilih bekerja di luar negeri karena di dalam negeri kurang optimal digunakan negara.

Banyak UU yang secara legal memindahkan kekayaan negara secara keseluruhanya menjadi kekayaan asing dan kekayaan para taipan. Sehingga negara yang dengan visi, misi, strategi dan programnya semestinya mengabdi kepada kepentingan rakyat, berubah menjadi mengabdi semata-mata pada kepentingan asing dan para taipan.

Bukti sederhana dan sangat mudah dipahami tergambarkan dari kondisi fiskal atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam APBN kita terjadi anomali yakni penerimaan negara dari kekayaan alam menurun sementara pada saat yang sama alokasi kekayaan alam untuk dieksploitasi oleh asing dan taipan meningkat secara fantastis. Penerimaan dari royalti pertambangan mineral, batubara, bagi hasil migas, penerimaan hasil perkebunan, kehutanan jika dikumpulkan lebih kecil dari penerimaan cukai tembakau. Uniknya, investasi dalam sektor sumber daya alam sangat besar. Penguasaan kekayaan alam, tanah dan kekayaan yang ada di dalamnya tersebut, justru “diserahkan” kepada swasta (investor asing dan taipan) melalui ijin, konsesi, dan berbagai bentuk hak penguasaan lainnya dalam jangka panjang. Karenanya, tidak ada kesempatan lagi kecuali sekarang, jika memang rejim ini menyatakan bahwa dirinya Indonesia dan dirinya Pancasila, untuk tak sekedar berkoar tetapi pengelolaan dan penguasaan SDAnya tetap dalam cengkeraman asing. Kita terjajah dalam makna sebenarnya.

Daripada memakai jargon “saya Indonesia, saya Pancasila” akan lebih bijak jika pengelolaan dan penguasaan SDA oleh asing tersebut perlahan diminimalisir bahkan dilepaskan. RR misalnya selalu konsisten menyuarakan agar kita sebagai bangsa tidak lagi tunduk dan patuh pada sistem ekonomi (neo)liberalisme tetapi kembali pada sistem ekonomi Pancasila, dimana bumi, air, tanah dan kekayaan di dalamnya dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sendiri, bukannya rakyat negara lain. Semoga.

SYAFRIL SJOFYAN

Pengamat Kebijakan Publik dan Aktivis 77/78

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular