JAKARTA – Rencana pemerintah untuk menaikkan premi BPJS dinilai tidak tepat mengingat kondisi perekonomian saat ini. Bahkan rencana tersebut diminta untuk dihentikan karena keadaan rakyat kecil sudah semakin berat dimana biaya hidup saat ini semakin meningkat akibat kenaikan bbm, gas, dan listrik. Demikian disampaikan Agung Nugroho, Ketua Nasional Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia).
Agung menilai, BPJS sejatinya adalah jaminan sosial yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam hak perlindungan kesehatan. Sehingga tidak masuk akal alasan kenaikan karena defisit anggaran sebagai akibat banyaknya dana yang dikeluarkan untuk menjamin penyakit berat tidak menular seperti jantung, ginjal, kanker, dan lain lain.
“Mengapa? Karena persoalan defisitnya BPJS adalah tanggungan pemerintah untuk mensubsidi BPJS agar tidak defisit sesuai UU BPJS yang ada saat ini. Sehingga lucu jika karena persoalan defisit anggaran maka rakyat yang harus diperas dengan menaikan premi BPJS,” ujar Agung dalam keterangan persnya kepada media di Jakarta, Senin (11/1/2016).
Agung Nugroho menambahkan, selama ini pelayanan BPJS masih morat-marit, misalnya masih belum adanya perlindungan bagi peserta yang sering menjadi korban pembatasan pelayanan di rumah sakit atau masih seringnya peserta BPJS ditolak masuk kamar rawat inap dengan alasan penuh namun. “Anehnya ketika kasus penolakan ter-blow up media tiba-tiba kamar rawat inap ada yang kosong. Kan aneh!” tegas Agung.
Selain itu, menurut Agung masih ada peserta yang masih dibebankan biaya tambahan untuk jenis obat yang oleh rumah sakit dikatakan tidak ditanggung BPJS. Ketika kasus ini terekspose di media, rumah sakit memberikan klarifikasi dengan alasan kesalahan komunikasi atau obat memang habis tetapi sudah diusahakan sehingga obatnya tersedia.
“Kasus lain yang kerap terjadi adalah upgrade dan downgrade kepesertaan, dimana ketika peserta BPJS yang di-ikutinya adalah kelas 1 misalnya dengan alasan kamar kelas 1 penuh, peserta dinaikan ke VIP tanpa persetujuan peserta yang menyebabkan peserta dikenakan tambahan biaya pada akhir masa perawatan atau diturunkan kelas perawatannya ke kelas yang lebih rendah misalnya kelas 3 tanpa ada pergantian kompensasi kepesertaan bagi peserta yang sudah membayar premi sesuai kelas yang di-ikutinya misalnya kelas 2 dan jelas 1,” papar Agung.
Bahkan untuk sosialisasinya BPJS dinilai tidak maksimal. Pola sosialisasinya masih ujung galah dimana pada saat forum sosialisasi pesertanya hanyalah pucuk-pucuk pimpinan baik itu gubernur, walikota, kadinkes, kasudinkes, dirut RS, kepala puskesmas, camat, lurah, ketua RW, dan ketua RT. Nantinya diharapkan pada ujung galah ini akan terdistribusi informasi ke bawah. “Pada kenyataannya ternyata tidak, rakyat dibawah masih sama sekali belum paham terhadap apa itu BPJS, bagaimana cara menjadi pesertanya, apa saja manfaat yang didapat, apa saja benturan regulasi yang akan menghambat hak kepesertaan mereka dan kemana harus mengadu ketika mendapat hambatan dalam menggunakan hak kepesertaan,” tambah Agung.
Karenanya tak heran jika rakyat bawah masih sering jadi korban pelayanan baik di rumah sakit, puskesmas, maupun di kantor BPJS itu sendiri. Sehingga Agung menyimpukan, keputusan menaikkan premi BPJS dinilai tidak bijak.
“Apalagi Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf mengatakan sebaiknya BPJS membenahi dulu pelayanannya baru menuntut kenaikan premi. Ditambah lagi dalam Forum Evaluasi JKN yang diadakan oleh Kemenkes (31/3/2015), peserta evaluasi juga masih meminta penundaan terhadap kenaikan premi BPJS ini,” pungkas Agung.
(bti)