Buka halaman wikipedia, ketik nama “Batavia”, aksara itu terbaca. Gedung kokoh bak benteng itu bernama Nassau Huis. Semula, ia hanya berupa sepotong bata dari tanah liat yang dibakar jadi batu. Izin diberikan penguasa pribumi Jayakarta — kampoeng besar yang mayoritas dihuni orang Banten, Sunda dan Cirebon — untuk mendirikan rumah kayu di atas sebidang tanah di muara Sungai Ciliwung kepada Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Itu tahun 1611.
1618, bersisian dengan Nassau Huis, berdiri bangunan yang lebih tinggi lagi; Mauritius Huis. Adik yang lebih berdegap dari kakaknya. Dinding setinggi tujuh meter tertanam. Dinding pertama yang jadi penanda dalam huruf raksasa tak tertulis: “Kami bukan teman anda, Toean!” Meriam-meriam hasil revolusi indusri dipasang bukan menghadap laut. Iklan-iklan baris dengan gambar khayal tentang dunia barbar baru termuat di koran-koran kota-kota pelabuhan Belanda dan Eropa, bahkan hingga Afrika Selatan: “Amsterdam – demi duli Ratu Belanda – memanggil kaum muda sebagai para perambah dunia baru yang kafir, namun kaya, guna ditarik ke batas Taman Sorga.”
Bukan para pembaca buku yang mendaftar, melainkan pemabok, pemadat, laki-laki muda yang terbuang, pencuri, penjahat, hingga narapidana yang ditebus pedagang-pedagang manusia. Tanpa perlu latihan, mereka diberikan pangkat, senjata, jadwal, dan gaji. Mereka menjadi tentara bayaran, berangkat dengan kapal untuk pertama kalinya menuju belahan Selatan. Mereka berbarak di Mauritius Huis, bersebelahan dengan kampoeng-kampoeng beragam suku bangsa merdeka kepulauan penghasil rempah.
Dan setahun setelah itu, 1619, Bandar Jayakarta yang dinamakan oleh Pangeran Fatahillah, jatuh ke tangan tentara bayaran VOC itu. Dua puluh empat purnama setelah itu, di atas puing-puing reruntuhan Batavia, berdiri angkuh Toean-Toean Kolonial dari perusahaan dagang Hindia Belanda dan pasukan multi-nasional-sewaan. Jayakarta berganti nama dengan Batavia. Pola pemerintahan Gubernur Jenderal berlaku.
Ya, tahun 1621, hampir empat abad lalu, Jayakarta bersalin rupa menjadi Batavia. Tak hanya bala tentara, bergelombang-gelombang pedagang bebas dengan harga sewa kapal kian mahal berangkat dari kawasan negara-negara berkabut dan bersalju di belahan Utara itu. Tentu, ada sedikit kaum intelektual yang mendapatkan nafas dari aufklarung Eropa. Tapi, hampir tak ada yang berpikiran etis, sebelum abad ke-20 datang lewat pemikiran yang dibawa lewat filsuf-filsuf revolusioner yang bermuara pada Revolusi Bolshevik di Uni Sovyet.
Zaman baru yang membawa kisah Multatuli dan sejenisnya, di luar pelataran terjauh dari Kota Batavia.
***
Dua tahun lagi, kisah empat abad penaklukan kaum pribumi Jayakarta itu dipentaskan. Dan begitulah. Penaklukan bukan kenangan yang selalu disambut kembang api. Kemerdekaan telah mengubah sebutan bandar taklukan sebagai kota penemuan baru. Jakarta pun diperingati sebagai kisah kelahiran berdasarkan kalender tentara-tentara sewaan VOC. Berduyun dan berjuta karnaval dihelat tiap tahun untuk memberhalakan tanggal kelahiran Jakarta itu.
Kisah penaklukan? Dilupakan dan ditimbun begitu saja, tanpa ada yang patut dijadikan sebagai semangat kebangkitan. Ia digusur jadi debu sejarah, seperti kisah penggusuran sebagaimana adanya setiap waktu.
Dan begitulah, hingga sampai hari ini, Jakarta tetaplah Batavia, tak pernah lagi menjadi Jayakarta. Pasar-pasar senggol, jalan-jalan tanah, tempat-tempat jin buang anak, hingga kawasan-kawasan angker Si Manis Jembatan Ancol, Jeruk Purut, Jin Tomang dan lain-lainnya; telah diputihkan oleh tembok, dihitamkan oleh aspal, guna menuju kemegahan yang entah apa.
Kampung Rambutan tak ada rambutan, Kampung Bali kehilangan pura, Rawa Belong tanpa seeor lintahpun. Ia sudah digantikan oleh Jakarta Baru. Jakarta yang tak punya nafas warga. Jakarta yang – tentu saja – tetap Neuw Batavia.
Carilah nama-nama jalan lewat fasilitas Google Map di smartphone anda. Dan pergilah kesana dengan hanya fokus kepada nama pada jalan itu. Berimajinasilah tentang nama itu. Ketika anda sampai ke tempat yang anda tuju; yakinlah betapa anda memang sudah tertipu oleh nama-nama itu. Mau Kemayoran atau Kebayoran atau Kemandoran, tak ada bedanya. Kramat Jati, Kramat Tunggak dan Kramat Sentiong bukanlah wilayah untuk anda berziarah mencari kharomah. Tipu-menipu ala pesulap-pesulap jalanan hadir, hingga uang, tubuh dan nyawa bisa anda berikan kepada Kanjeng, Dimas ataupun Aa.
Anda tertipu pada nama-nama itu, tanpa anda berupaya sungguh-sungguh untuk tak tertipu lagi keesokan harinya.
***
Dalam praksis pembangunan Jakarta yang sudah berjalan dengan anggaran trilyunan, warga makin tercampak dari tanah, jalan dan selokannya sendiri. Dana-dana sosial korporasi ala VOC, bergerak bebas tanpa perlu audit negara, mencampakkan manusia-manusia dan pun kemanusiaan di Jakarta. Jakarta tak lagi disiapkan sebagai kawasan yang bersahabat dan akrab antar sesama manusia, melainkan dibangun untuk pembangunan itu sendiri dengan pekerja-pekerja oranye ataupun biru muda. Mereka yang digaji bak tentara sewaan dengan dana-dana korporasi.
Komunikasi antar warga kian terhapus di bumi Jakarta. Dialek-dialek multiras, multietnis dan multiagama hilang. Tak ada lagi sindiran-sindiran khas betapa orang Aceh sibuk salaman ketika masuk bioskop, orang Madura mempreteli tank-tank dijadikan besi bekas, orang Minang manggaruang-garuang memamerkan celana segitiga pengaman di pasar-pasar, orang Tionghoa memakai simpoa menghitung ikan bandeng, dukun-dukun pedalaman berjualan obat segala macam keperkasaan dari minyak-minyak hewan, orang India menjahitkan jas wisuda, hingga orang Ambon menjaga area-area perumahan mewah.
Jayakarta yang tunduk empat abad lampau itu tak pernah benar-benar bisa tegak lagi kepalanya, berdiri sebagai tuan, bukan budak di tanahnya sendiri. Chairil Anwar dan Iwan Simatupang makin tak tampak lagi pelanjutnya; tidur di hotel-hotel melati, bertungkus lumus dengan kalangan jelata duafa yang tetap jelita di area musik mestizo. Pengagum WS Rendra tak mungkin lagi bersyair tentang anak-anak yang mencari bapak dari area persatuan para pelacur kota Jakarta.
Rhoma Irama – ah, ia yang kini bukan lagi sang petarung lapangan – dan Iwan Fals – seseorang yang mungkin kini adalah sufi seduhan kopi – jangan ditanya kemana perginya. Mereka tak ada dalam level pengamen antar Bus Way, apalagi masuk cafe keluar cafe di kawasan Kemang, Menteng dan mal-mal pencarian KTP untuk mencari recehan. Syair-syair kehidupan bernada nelangsa, sampai tiga hari begadangpun tak mungkin jadi ilham lagi.
***
Pembangunan kini mengejar pertumbuhan dari sisi tinggi bangunan, panjang jalan, jumlah jembatan, harga apartemen, sewa rumah susun dan sebagainya. Pertumbuhan yang tanpa niat untuk mengejar manusia-manusia yang ada di Jakarta. Pasti, infografis yang tak mungkin hadir di social media bergerak terus: kemerosotan Indeks Kebahagiaan Hidup dan kemelorotan Indeks Pembangunan Manusia. Untuk mencari kenyamanan, kian banyak bilik-bilik hotel baru yang bahkan dengan nama-nama yang asing bertebaran di sepanjang jalan.
Hotel-hotel murah ramah menjamah, one stop entertainment one robotic government, spa, pijat, gojek, uber, indoapril hingga indodesember, bisnis online, dan segala macam kenyamanan yang bisa diraih dengan kocek murah.
Murah? Aha, murah atau asing? Perlukah anda ke hotel yang berjarak seratus meter dari rumah anda, jika air pancuran di rumah anda tak berbau pesing? Hotel-hotel itu menyedot air tanah anda, nyaris tanpa pajak. Jakarta sudah berubah menjadi kota serba murah yang mengepung dan menghimpit hingga rinsek kampoeng-kampoeng khas manusiawi.
Nassau Huis, Mauritius Huis, telah beranak-pinak membuat benteng-benteng baru di kampoeang anda, lalu esok pagi membunuh anda dengan tentara sewaannya.
Jakarta bak dibangun sebagai kota bisnis yang hanya layak dihuni oleh orang-orang bisnis. Jakarta seakan disiapkan sebagai ibukota bagi kaum bisnis mancanegara yang datang dari manapun di pulau persinggahan. Pasar tradisional tak dimanusiawikan, tanah rakyat diperkarakan, begitu juga dengan pedagang kaki limanya. Kampus, sekolah, hingga tempat-tempat interaksi warga seperti gelanggang remaja, sudah berubah menjadi area yang mahal setelah diuruk dan dibebaskan.
Kian lama kian sulit menemukan nama-nama Indonesia (Sunda, Jawa, Batak, Bugis, Madura) di Jakarta. Yang makin akrab adalah nama-nama negara-negara lain, baik Timur ataupun Barat. Jakarta tetaplah milik multinasional corporation yang nyaman untuk para pengembang dan pedagang.
Jakarta bukanlah kampoeng untuk pulang. Sebab, berduyun orang menghabiskan uang tiap tahun untuk pulang kampung; lalu diberikan bonus macam-macam oleh VOC-VOC abad 21.
Itu, hanya dengan modal satu batu bata, awalnya, empat abad lampau. Bayangkan, jika modal itu berupa tujuh pulau. VOC seperti apa yang hadir empat abad lagi?
Anda yang menjawabnya. 17 reboan dari sekarang. Dengan 16 narasi reboan yang tersisa.
INDRA J. PILIANG
Direktur Eksekutif Gerilyawan Institute