Siang itu, aku sengaja datang ke Markaz Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, dengan 2 (dua) alasan: pertama, ingin melihat dan merasakan sajian wisata buku karya tokoh-tokoh Masyumi yang dipajang di lantai 7, perpustakaan gedung; dan kedua, hanya rindu. Entah kenapa magnet tarikan untuk hadir itu, begitu kuat.
Alaa kulli hal, keduanya punya cerita.
Meski tak dengar suara adzan, aku masih sempat mengikuti shalat dzuhur berjamaah di Masjid Kramat 45 itu. Selepas kuliah singkat ba’da dzuhur yang biasa digelar, dan hari itu tentang faraid, aku yang qadarullah bertemu dengan sahabatku yang penulis dan Kyai, Nuim. Dan ternyata kami punya ‘nuat‘ yang sama. Jadilah, bersama kami naik ke lantai 7. Bersama kami saksikan dan nikmati sajian buku-buku karya tokoh Masyumi: KH Taufiqurrahman, HM. Rasjidi, Anwar Harjono, Moh. Roem, M. Natsir, Isa Anshari, Prawoto Mangkusasmito, Kasman Singodimedjo, dan beberapa yokoh yang lebih muda. Kulihat Nuim memilih buku kecil karya HM. Rasjidi tentang AKAL, sementara aku memilih stensilan karya Natsir, hasil ceramahnya di Departen Pekerjaan Umum di tahun ’70-an, tentang “Dimensi Manusia Dalam Pembangunan”. Tak lama kami pun beranjak meninggalkan ruangan luas nan sejuk itu, sambil berterima kasih pada Ustadz Qadir, Sang Penguasa Perpustakaan.
Selepas makan siang di warung yang terletak di lantai dasar gedung, aku mengajak Nuim ngopi, di tempat biasa di areal gedung itu. Ups, ternyata kafe itu telah berubah menjadi kantor pemasaran biro haji dan umrah. Tapi, selalu ada hikmah, pimpinan tempat itu adalah kawan lama kami, kawan Nuim lebih tepatnya. Maka sajian sebotol air mineral dan asupan ringan yang ada dalam ruangan sejuk itu pun bisa kami nikmati. Dan, di sini pulalah, siang itu, kemarin, Kamis (7/7/2024) , kami mendengar bahwa Ustadz Yazid Jawas (UYJ) meninggal dunia. InnaalIllahi wa Innaa ilaihi raji’un.
***
Mengenang UYJ, ada monen yang tak mungkin kulupa. Saat itu, 18 tahun yang lalu, di satu tempat sebelum masuk tanah haram, Syari Sittin, aku dan istriku yang membersamai Bapakku berhaji. Bang Syuhada Bahri (alm.), Ustadz Farid Okbah, Ustadz Syariful Alam dan Ustadz Yazid Jawas adalah para pembimbing kami. Haji di tahun itu adalah haji istimewa, setidaknya bagiku. Karena saat di Syari Sittin itulah, dalam suasana tahun baru Miladiyah, yang kami respon dengan membakar beberapa ekor kambing malamnya, aku “berdebat” dengan UYJ. Debat ini, debat yang tak mungkin kulupa. Debat yang akhirnya harus ditengahi oleh Bang Syuhada dan komentar dari Ustadz Farid Okbah. Ya, debat soal “siulan” yang kuzaharkan dan terdengar oleh UYJ, dan berkepanjangan sampai soal lagu, musiklah secara umum. Debat yang indah.
Itu titik penting bagiku. Karena, beberapa tahun kemudian dan tahun-tahun selanjutnya, selanjutnya lagi, setiap kami bertemu dan UYJ pasti senyum dan bertanya padaku, “Ente masih nyiul?”
***
Dan kemarin, aku mendengar langsung bahwa UYJ meninggal dunia. Nuim, sahabatku yang juga sahabat UYJ, yang tak pernah kehabisan sikap kritis pada siapapun, saat kutanya: “Apa arti meninggalnya UYJ bagi ente, Kyai?”tanyaku.
“Salafi Indonesia kehilangan Imam Besarnya. Semoga tidak seperti Syiah Indonesia yang kehilangan Kang Jalal,”katanya.
“Ente ini, Kyai. Bisa saja!” balasku.
SABAR SITANGGANG
Jurnalis Senior