Friday, August 22, 2025
spot_img
HomeSosial BudayaFestival Muria Raya: Merajut Cinta dari Gunung, Gamelan Batu, hingga Leluhur Masa...

Festival Muria Raya: Merajut Cinta dari Gunung, Gamelan Batu, hingga Leluhur Masa Depan

Salah satu penampilan dalam Festival Muria Raya, Jepara, 16-17 Agustus 2025. (foto: Bachtiar Dj)

JEPARA, CAKRAWARTA.com – Di kaki Gunung Muria, di antara kebun kopi dan hamparan sawah Desa Tempur, sebuah peristiwa budaya besar kembali digelar. Festival Muria Raya (FMR) #5 hadir pada 16–17 Agustus 2025 dengan tema Wiwiting Werna Katresnan (Permulaan dari Warna Cinta).

Lebih dari sekadar agenda tahunan, festival ini menjadi ruang hidup di mana warga desa, seniman, budayawan, dan pegiat budaya dari berbagai daerah hingga mancanegara bertemu, berkarya, dan merayakan kebersamaan. Selama dua hari, hadirin tak hanya menonton pertunjukan, melainkan ikut larut dalam proses berkesenian, bertukar cerita, dan membangun makna bersama.

Ketua Panitia FMR, Brian Trinanda K. Adi, pegiat budaya asal Pati yang kini menempuh studi pascasarjana di Universiteit van Amsterdam, menyebut festival ini sebagai manifestasi perjumpaan yang sarat makna.

“Tidak ada yang kebetulan. Orang-orang yang hadir di sini punya vibrasi dan nilai yang sama. Dari situlah tumbuh keselarasan, antara manusia dengan sesamanya, maupun manusia dengan alam,” ujarnya.

Bagi Brian, FMR bukan sekadar festival, melainkan simbol kolektif yang dimaknai sebagai ruang sakral untuk memperkuat ikatan komunitas.

Diskusi Temu Cakap Desa menghadirkan refleksi tentang peran gunung dalam tradisi spiritual. Penulis buku “Manusia dan Gunung”, Mang Pepep DW, mengingatkan bahwa gunung sejak lama menjadi pusat pencarian ilham dan kebijaksanaan.

Sementara itu, Dr. Barbara Titus, peneliti musik dan dekolonisasi budaya dari Belanda, menyoroti pentingnya mengembalikan arsip dan narasi yang sempat tercerabut. Ia mencontohkan repatriasi arsip suara Jaap Kunst ke komunitas Nias sebagai langkah penting merajut kembali ingatan kolektif.

Salah satu momen paling memikat datang dari pertunjukan Rani Jambak, seniman asal Medan yang kini tinggal di Sumatera Barat. Dengan karya Future Ancestor, Rani mengajak publik merenungkan posisi mereka sebagai “leluhur masa depan.”

“Yang tua juga harus belajar memahami bentuk ekspresi anak muda, meski wujudnya berbeda. Nilai tetap bisa diwariskan, meski dengan bahasa baru,” kata Rani.

Ia menegaskan, setiap generasi pada akhirnya akan menjadi leluhur bagi masa depan, sebuah siklus yang menuntut keterhubungan lintas waktu.

Puncak festival menghadirkan ragam penampilan, mulai dari Sanggar Tari Arjuna hingga kelompok musik Sarasuni yang baru saja berkiprah di Belanda. Namun, salah satu pertunjukan paling berkesan datang dari Dr. Memet Chairul Slamet melalui proyek Menata Bunyi Meniti Gerak Bebatuan Muria”.

Menggunakan bebatuan berusia ribuan tahun, Memet bersama Gempur Sentosa, Agung “YAW” Wibowo, Jawara Squad, dan Dedy Satya Hadianda, menciptakan ensambel bunyi yang menyatukan alam dengan kreativitas manusia.

“Setiap batu punya suara. Tugas kita hanya mendengarkan,” ujar salah seorang seniman.

Dari Ritual hingga Ekonomi Desa

FMR#5 juga menghadirkan prosesi Prasastu dan Sabda Paseduluran, simbol persaudaraan yang melibatkan air dari berbagai mata air di Pati, Jepara, Kudus, hingga Demak. Air itu menyatu, sebagaimana persaudaraan yang dirajut antarwilayah Muria.

Kebersamaan juga muncul dalam Bluron Kali, happening art spontan di sungai, di mana batu, tari, dan air berpadu menciptakan harmoni.

Selain pertunjukan, festival mendukung UMKM lokal melalui pameran kuliner, madu, kopi, dan hasil bumi. Pameran gamelan kaca dan lukisan bubuk kopi turut memperkaya suasana, sekaligus menegaskan peran festival sebagai penggerak ekonomi kreatif desa.

Festival Muria Raya lahir pada 2020 saat pandemi, bermula dari Festival Lima Gunung yang diboyong ke Pati. Dari perhelatan hening tanpa penonton itu, FMR terus berkembang: menghadirkan kolaborator Jepang pada 2022, gelaran intim di 2023, hingga FMR#4 di Pati tahun lalu.

Kini, untuk pertama kalinya, FMR digelar di Jepara. Kehadirannya mempertegas semangat merangkul seluruh komunitas di lereng Muria, Pati, Kudus, Jepara, hingga sekitarnya.

Dengan tema “Wiwiting Werna Katresnan”, Festival Muria Raya menegaskan bahwa kebudayaan bukan sekadar tontonan, melainkan laku hidup yang terus dirajut bersama masyarakat.

FMR#5 menjadi bukti bahwa desa dapat menjadi pusat peradaban, tempat di mana seni, tradisi, ekonomi, dan spiritualitas berkelindan. Dari gunung, gamelan batu, hingga gagasan tentang “leluhur masa depan,” festival ini merayakan keterhubungan manusia dengan sesama, leluhur, dan alam semesta. (*)

Kontributor: Bachtiar Dj 

Editor: Abdel Rafi 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular