
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Perbedaan tajam angka kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia kembali menyedot perhatian publik. Menurut BPS, tingkat kemiskinan nasional per September 2024 turun menjadi 8,57% atau sekitar 24,06 juta jiwa. Angka ini disebut sebagai pencapaian terbaik sepanjang sejarah Indonesia.
Namun, dengan standar global Purchasing Power Parity (PPP), Bank Dunia menempatkan angka kemiskinan Indonesia jauh lebih tinggi yaitu 60,3% (171,8 juta jiwa) berdasarkan PPP 2017, bahkan melonjak ke 68,2% (194,4 juta jiwa) dengan basis PPP 2021.
Selisih hampir 170 juta orang ini memunculkan kesan kontradiktif bahwa Indonesia dipuji sukses menekan kemiskinan di dalam negeri, tetapi tetap digolongkan sebagai negara dengan mayoritas penduduk miskin dalam ukuran global.
Direktur Jakarta Institut, Agung Nugroho, menekankan bahwa data BPS dan Bank Dunia tidak bisa dipertentangkan secara sederhana.
“BPS berbicara tentang kebutuhan dasar masyarakat Indonesia, sehingga angkanya relevan untuk kebijakan nasional. Sementara Bank Dunia menggunakan standar global agar kondisi kita bisa dibandingkan dengan negara lain. Jadi, keduanya sahih tetapi memang berbeda tujuan,” jelas Agung, Selasa (19/8/2025).

Menurutnya, justru dari perbedaan ini muncul ruang refleksi. Indonesia memang berhasil menekan jumlah penduduk miskin ekstrem menjadi 24 juta jiwa berdasarkan ukuran domestik. Namun, dalam kaca mata global, lebih dari 170 juta warga masih hidup di bawah standar kesejahteraan internasional.
Agung menegaskan, tantangan Indonesia bukan memilih data mana yang benar, melainkan bagaimana menjembatani dua realitas tersebut.
“Pemerintah harus memperkuat perlindungan sosial, membuka lapangan kerja, dan memastikan pertumbuhan ekonomi benar-benar mengangkat kualitas hidup rakyat kecil. Penurunan angka kemiskinan domestik penting, tetapi kesetaraan dengan standar global tidak boleh diabaikan,” tegasnya.
Jakarta Institut menilai, kedua ukuran ini saling melengkapi dimana angka versi BPS menggambarkan capaian nyata yang relevan untuk program bantuan sosial di dalam negeri. Sementara itu, angka versi Bank Dunia menjadi alarm penting bahwa masih ada pekerjaan besar agar masyarakat Indonesia naik kelas dalam standar internasional.
“Keberhasilan menurunkan kemiskinan nasional harus diiringi strategi jangka panjang. Targetnya bukan hanya keluar dari garis kemiskinan lokal, melainkan mampu hidup layak menurut standar global,” pungkas Agung. (*)
Editor: Abdel Rafi



