Monday, December 15, 2025
spot_img
HomeGagasanReog Ponorogo: Dari Ruang Publik Menjadi “Tempat” yang Mengikat Ingatan Kota

Reog Ponorogo: Dari Ruang Publik Menjadi “Tempat” yang Mengikat Ingatan Kota

Sorak penonton, dentum kendang, hingga sahut-sahutan gong bukan sekadar latar bunyi pertunjukan. Di Surabaya, rangkaian agenda Reog Ponorogo beberapa bulan terakhir menegaskan satu tesis sederhana bahwa ketika kota memberi panggung yang layak, kebudayaan tidak hanya “dipertontonkan”, melainkan dihidupkan kembali sebagai pengalaman bersama yang menubuhkan identitas. Momentum ini hadir pada saat yang tepat dimana Reog Ponorogo baru saja ditetapkan UNESCO pada 2024 sebagai Warisan Budaya Takbenda dalam Daftar yang Memerlukan Perlindungan Mendesak (Urgent Safeguarding List). Artinya, dunia mengakui nilainya sekaligus mengingatkan kita bahwa ia menghadapi ancaman dan membutuhkan langkah penyelamatan nyata.

Di Surabaya, dukungan pemerintah kota dan komunitas, dari “Ramadan Berbudaya: Reog Suroboyo Nyawiji Wani” di Kota Lama hingga pentas di Tugu Pahlawan, KBS, Kenjeran, dan festival lain, membuka akses penonton yang lebih luas. Wakil Wali Kota Armuji bahkan menyatakan komitmennya agar gelaran ini menjadi agenda rutin, sebuah sinyal bahwa kota melihat seni tradisi bukan sekadar aksesori seremonial, melainkan urusan strategis.

Mengapa ruang publik penting? Geografer humanis Yi-Fu Tuan (1977) menekankan bahwa “space” (ruang) berubah menjadi “place” (tempat) ketika kita mengakrabi dan memberinya makna. Tempat adalah “konsentrasi nilai”, lokasi yang dihayati secara inderawi dan batin, sehingga melekat dalam memori kolektif. Dengan kata lain, kurasi pertunjukan di taman kota, alun-alun, dan simpul mobilitas bukan hanya soal logistik panggung, melainkan strategi mencetak ingatan bersama, resep dasar ketahanan budaya.

Pada tingkat praktik, Reog adalah kerja keutamaan dimana pembarong memanggul dadak merak, kepala singa berhias rumbai ekor merak, dengan kekuatan rahang menopang beban puluhan kilogram. Studi-studi mencatat bobot peralatan dewasa bisa melampaui 50 kg, bahkan hingga 80 kg; konsekuensi kesehatan gigi dan rahang penari benar adanya. Fakta ini seharusnya mengubah perspektif kita bahwa dukungan bukan hanya menyewa panggung, melainkan juga menyediakan jaring pengaman kesehatan dan keselamatan kerja bagi seniman (Nurhaliza, 2021).

Di sinilah letak argumen utama tulisan ini bahwa kota adalah aktor kunci pelestarian Reog pasca penetapan UNESCO. Ketika UNESCO memasukkan Reog dalam daftar perlindungan mendesak, pesannya jelas bahwa kita dituntut bergerak dari pertunjukan insidental menuju rencana perlindungan (safeguarding) yang terukur. Bagi Surabaya, Ponorogo, Malang, dan kota-kota lain tempat Reog hidup, ada sedikitnya lima keputusan kebijakan yang tidak boleh ditunda:

  1. Tetapkan kalender Reog kota yang berpola. Minimal triwulanan, terkoneksi dengan siklus pendidikan (mid-term break, libur sekolah) dan hari besar kota. Kalender publik yang pasti memberi kepastian kerja bagi sanggar sekaligus memudahkan sponsor dan penonton. Komitmen ini sudah “dicicil” lewat gelaran 2025; kini saatnya dipatri lewat Perwali/Keputusan Wali Kota agar berlanjut lintas periode.
  2. Pisahkan pos anggaran “produksi” dan “perlindungan”. Produksi menanggung panggung, tata suara, publikasi; perlindungan mencakup pendidikan generasi penerus (kelas pembarong, warok, jathil), pemeliharaan perangkat (termasuk bahan berkelanjutan), serta dukungan kesehatan (pemeriksaan gigi-rahang rutin bagi pembarong). Logika ini selaras dengan spirit penetapan UNESCO: elemen ini berisiko tinggi sehingga butuh perlindungan terstruktur, bukan ad hoc.
  3. Masukkan Reog ke dalam ekosistem sekolah dan kampus. Buka skema ekstrakurikuler dan artist-in-residence di SMA/SMK/PTN-PTS, sertakan modul sejarah, makna simbolik, dan teknik pertunjukan. Targetnya sederhana namun krusial: memperlebar jalur regenerasi dan menumbuhkan kebanggaan generasi muda, dari sekadar penonton menjadi pelaku.
  4. Profesionalisasi dan standar keselamatan. Dorong sertifikasi pelatih/penata artistik, SOP latihan (termasuk ergonomi mengangkat dadak merak), serta perlindungan BPJS Ketenagakerjaan/Kesehatan bagi pelaku. Bukti ilmiah tentang risiko keausan gigi-rahang harus ditangani dengan protokol, bukan dianggap sekadar “konsekuensi tradisi”.
  5. Model bisnis digital dan lisensi kota. Rekam pertunjukan berkualitas siaran, kelola hak siar dan lisensi city-branded, serta bangun toko karya digital (soundtrack, tutorial, behind the scenes). Cara ini membuka pemasukan non-tiket bagi sanggar dan mengurangi ketergantungan pada APBD tanpa mengorbankan nilai.

Tentu ada keberatan yang sering muncul seperti ruang publik akan bising atau komersialisasi menggerus sakralitas. Keberatan ini valid bila pemerintah gagal mengelola. Namun solusinya bukan menyingkirkan seni dari ruang kota, melainkan kurasi cerdas: zonasi (ruang yang memang dirancang untuk pertunjukan), jadwal tampil yang jelas, dan perjanjian kerja seniman yang menghormati etika serta tata krama pertunjukan yang ramah warga. Prinsipnya, yang kita bangun adalah place making, ruang yang bertransformasi menjadi “tempat” karena diisi nilai dan tata kelola yang membuat warga betah, bangga, dan ingin kembali.

Pada akhirnya, ukuran keberhasilan pelestarian bukan seberapa banyak kita mengutip narasi kejayaan lama, melainkan sejauh mana kota mampu mencetak pengalaman baru yang membuat anak-anak hari ini menyebut Reog sebagai “bagian dari hidupku”, bukan sekadar tontonan musiman. Surabaya sudah memberi contoh lewat dukungan pemerintah dan antusiasme warga; kini saatnya naik kelas menjadi kebijakan yang ajek, terukur, dan berjangka panjang. Penetapan UNESCO bukan medali untuk dipajang, melainkan work order untuk bekerja lebih serius, agar setiap dentum kendang di ruang kota benar-benar menjadikannya tempat yang melekat di ingatan bersama. Semoga.

AGNES WINDA NOVENTIA

Mahasiswa Magister PSDM Peminatan Industri Kreatif Sekolah Pascasarjana Unair

IGAK SATRYA WIBAWA 

Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO dan staf pengajar Magister PSDM Peminatan Industri Kreatif Sekolah Pascasarjana Unair

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular