SURAKARTA – Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS) mengeluarkan keterangan pers terkait tindakan kekerasan yang menimpa umat Islam di Tolikara, Papua, pada Jumat (17/7/2015) saat perayaan Idul Fitri. Dalam hal ini, gabungan ormas dan tokoh Islam di Surakarta itu meminta keadilan pemerintah dalam melihat tragedi Tolikara.
Meski tindakan yang dilakukan jemaat Gereja Injili di Indonesia (GIDI) itu sangat biadab, tapi pemerintah tak pernah memberikan label teroris atau ekstrimis. Hal ini berbanding terbalik jika sebuah tindakan kekerasan dilakukan oleh umat Islam.
“Kami meminta keadilan Pemerintah Indonesia untuk umat Islam Indonesia yang seringkali terdzalimi. Dengan kasus ini, kami menilai pemerintah memiliki standar ganda dan ketidakadilan,” ujar Ketua DSKS, Dr. Muinudinillah Basri di Surakarta, Senin (20/7).
Muinudinillah menambahkan jika sikap pemerintah justru berbanding terbalik jika pelakunya umat.
“Terbukti, jika pelaku kekerasan dari muslim disebut teroris, jika pelakunya bukan non-muslim maka tidak pernah ada label terorisme. Jika korbannya adalah umat Islam, maka pemerintah selalu mengusulkan perdamaian, dan berupaya menutup-nutupi kasus tersebut,” tegas Muinudinillah.
Bahkan menurut Muinudinillah , hal serupa juga terjadi jika korbannya adalah pihak non-muslim, maka dengan serta merta aparat keamanan, khususnya Densus 88 diterjunkan untuk mencari pelakunya.
“Label teroris, radikal, ekstrimisme pun disematkan kepada umat Islam.” ujar Muinudinillah.
Masih dikatakan Muinudinillah, DSKS juga meminta keadilan para aparatur Negara dalam penjagaan terhadap rumah ibadah umat Islam. Sebab, jika menjelang Natal, gereja-gereja dijaga oleh aparat, seakan-akan Umat Islam selalu meneror non-muslim.
“Sungguh ini adalah fitnah. Peristiwa Idul Fitri berdarah di Ambon dahulu kala, dan kini Idul Fitri membara di Papua dengan adanya penyerangan, menjadi bukti bahwa ada yang lebih layak diwaspadai daripada umat Islam,” pungkasnya.
(ip/bti)