Dalam menganalisis politik di tanah air, acapkali kita menemukan realitas jika seorang politikus menjadi penguasa di suatu daerah ternyata melalui ‘bantuan’ kelompok pemodal baik asing maupun “aseng”. “Aseng” sendiri merupakan terma yang diintrodusir oleh Kwik Kian Gie, ketika mengeritik masalah BLBI yang banyak melibatkan konglomerat hitam dan kebetulan diasosiasikan sebagai sekelompok pengusaha keturunan (China) yang banyak melakukan manipulasi perbankan. Sebagaimana dimaklumi BLBI ini merupakan kasus yang merugikan negara sekitar 600 triliun lebih dan sampai sekarang rakyat harus membayar cicilan/ bunga melalui APBN sebesar kurang lebih 60 triliun sampai tahun 2032.
Kata “aseng” lebih dipopulerkan lagi oleh Prof. Dr. Ir Sri Bintang Pamungkas dan kini sudah menjadi milik publik. Maknanya tertuju kepada sekelompok pengusaha keturunan yang terlibat mafia dalam berbagai bisnis di sekitar kekuasaan. Bahkan makna ini diperluas dalam artian kepentinggan Republik Rakyat China (RRC) terhadap Indonesia. Mengingat RRC sekarang telah menjadi superpower. Tentu saja tidak semua “aseng” berkonotasi negatif, karena kelompok-kelompok pengusaha bawah dan menengah mereka yang sudah bekerja dengan keras dan jujur, merasa dirugikan oleh kelakuan segelintir konglomerat hitam tersebut. Beberapa dari kelompok bawah/menengah keturunan ini mengutuk perilaku mafia di sekitar penguasa tersebut.
Ini kisah singkat yang mungkin dapat membantu kita dalam memahami pola perilaku “aseng” tersebut yang masuk ke ranah politik an sich secara tak langsung melainkan melalui dukungan di balik layar terhadap figur yang potensial maju dan memenangi suatu kompetisi politik. Pada abad ke-3 Sebelum Masehi (SM) terjadi sebuah dialog antara Lu Bu Wei, Perdana Menteri Dinasty Qin yangg menjadi peletak dasar menyatukan China dengan ayahnya. Berikut dialog tersebut:
“Berapa untungnya bertani?” tanya Lu Bu Wei
“10 kali lipat,” jawab ayahnya
“Kalau berdagang emas?” Lu Bu Wei bertanya lagi dengan antusias.
Jawab ayahnya lagi: “100 kali lipat”.
“Oh, kalau membantu seseorang menjadi penguasa/pejabat?” Lu Bu Wei kian semangat.
“Wah wah tak terhitung untungnya,” jawab sang ayah sembari tersenyum.
Itulah dialog Lu Bu Wei dengan ayahnya beberapa abad silam. Makanya ada istilah Cu Kong dalam ranah politik. Istilah tersebut berasal dari kata Zhu yang artinya pemilik dan Gong yang artinya semacam datuk atau semacam gelar kehormatan. Panggilan kehormatan zaman dahulu bagi sosok atau seseorang yang membiayai orang-orang tertentu menjadi penguasa (anggota Parlemen, Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, Kepala Kepolisian, Panglima Tentara dan lainnya). Dus, membicarakan istilah Cu Kong bukanlah hal baru. Jadi sekarang kita bisa memahami mengapa ada Datuk Liem Sioe Liong di era Soeharto, Datuk Murdaya Pho di era Susilo Bambang Yudhoyono atau Datuk Tahir di era Panglima TNI Moeldoko.
Peran “Aseng” Mendanai “Pilkada” Di Zaman Kolonial Belanda
Demi menciptakan sistem ketergantungan kalangan pangreh praja (Birokrasi/Pemerintah) terhadap pemilik dana, maka diciptakan sistem uang semir dalam pengangkatan Lurah hingga Bupati di era penjajahan Belanda di Indonesia. Karya Prof. Dr. D.H Burge dan Prof. Dr. Mr. Prajudi dalam Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia Jilid II yang merupakan terbitan P.N Pradnja Paramita (1970) menuturkan bahwa seorang calon Lurah harus memiliki uang 700-1000 gulden . Uang tersebut sejumlah 200 gulden ‘dipersembahkan’ kepada Bupati, untuk Wedana 100 gulden, dan untuk jurutulis Controleur 25 gulden. Sisanya untuk ‘menyejahterakan’ eselon lainnya yang terkait dalam struktur ke-pangrehpradja-an. Hanya untuk menjadi Lurah, dana ilegalnya bisa sebanyak itu. Berapa besar untuk menjadi Wedana atau Bupati?
Muncul pertanyaan darimana dana tersebut diperoleh? Jawabannya diperoleh dari pinjaman kepada pengusaha China yang kala itu disebut Taokeh atau Tauke. Bisa dibayangkan berapa jumlah uang yang diperlukan oleh seseorang untuk menjadi Camat, Asisten Wedana, Wedana, Patih sampai Bupati. Seorang Taokeh pada masa itu dapat mendanai tiga atau empat Lurah. Demikian pula seorang Taokeh dapat menyeponsori dana ilegal untuk Bupati. Setelah ‘pilkada’ di masa kolonial, Taokeh selalu menuntut balas jasa kepada mereka yang telah berhasil menjadi penguasa tersebut. Tentu dalam bentuk “proyek” dan lainnya. Jadi hubungan simbiosis mutualistik antara pemilik modal dengan penguasa, antara “aseng” dengan “asong” (sebutan bagi penguasa yang mental pedagang, menjual harga diri, aset bangsa dan negaranya demi keuntungan diri pribadi dan kelompoknya) sudah berakar ratusan tahun di Indonesia. Perilaku tersebut kian “dipercanggih” dengan adanya praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dimasa Orde Lama, Orde Baru bahkan di Era Reformasi dan setelahnya.
Saat kopi darat (kopdar) saya dan kawan-kawan seringkali berkelakar kalau hendak menganalisis tentang politik Indonesia tidak perlu ‘ribet’ sehingga terkesan wah dengan mencomot teori mewah ala Oligarki-nya Jeffrey Winters. Bagi kami cukup memakai pisau analisis “datuk cukong” ini.
M. HATTA TALIWANG
Mantan Anggota DPR RI 1999-2004 F-Reformasi
Penulis Buku “Republik Di Ujung Tanduk”
Pimred Senior Majalah FORUM