Kasus penembakan yang dilakukan oleh seorang prajurit TNI AL terhadap warga sipil di tol Tangerang-Merak pada akhir pekan lalu, menjadi sorotan publik. Tragedi itu membuka luka baru dalam hubungan antara aparat keamanan dan masyarakat.
Bagaimana mungkin seorang prajurit yang diberi kepercayaan untuk menjaga keamanan justru menggunakan senjata api untuk menghilangkan nyawa seseorang? Pertanyaan ini semakin mengemuka ketika dihubungkan dengan kasus serupa yang melibatkan polisi di Semarang, di mana seorang pelajar menjadi korban kekerasan senjata api.
Efek Senjata dan Eskalasi Komitmen
Senjata, meskipun dirancang sebagai alat untuk melindungi, dapat berubah menjadi simbol kekuasaan yang berbahaya jika tidak dikelola dengan baik. Bagi aparat, senjata api sering kali memberikan rasa percaya diri yang berlebihan dan, dalam kondisi tertentu, memicu reaksi yang agresif. Secara psikologis, fenomena ini telah lama dibahas dalam konsep weapon effect yang diperkenalkan oleh Leonard Berkowitz dan Anthony LePage pada tahun 1967. Keberadaan senjata dapat meningkatkan agresivitas seseorang, terutama dalam situasi yang penuh tekanan.
Dalam konteks aparat keamanan, senjata api tidak hanya menjadi alat fisik tetapi juga menciptakan rasa dominasi dan superioritas. Hal inilah yang dapat mendorong tindakan impulsif yang berujung pada tragedi. Perasaan memiliki kekuatan ini, jika tidak diiringi dengan pengendalian diri yang baik, berpotensi menciptakan situasi yang membahayakan.
Tidak berhenti di situ, fenomena lain yang turut menjelaskan perilaku aparat dalam situasi seperti ini adalah escalation of commitment. Konsep yang diperkenalkan oleh Barry M. Staw pada 1976 ini menggambarkan kecenderungan seseorang untuk terus melanjutkan tindakan yang salah, meskipun mereka sadar bahwa keputusan tersebut membawa konsekuensi negatif.
Dalam penggunaan senjata api, aparat yang sudah mengambil tindakan kekerasan sering kali merasa “terikat” untuk melanjutkan aksinya, bahkan ketika sebenarnya dapat memilih untuk berhenti. Fenomena ini semakin diperparah oleh tekanan lingkungan kerja yang sering kali mendukung atau membenarkan tindakan berlebihan tersebut.
Peraturan Ada, Pengawasan Lemah
Penggunaan senjata api oleh aparat sebenarnya telah diatur dalam berbagai regulasi. Di Indonesia, Prosedur Penggunaan Senjata (PPS) menetapkan batasan ketat tentang siapa yang berhak membawa senjata dan dalam kondisi apa senjata tersebut boleh digunakan. Selain itu, Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 memberikan sanksi berat bagi kepemilikan senjata ilegal.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa regulasi ini sering kali tidak diiringi dengan pengawasan yang memadai. Banyak kasus menunjukkan bahwa senjata digunakan di luar tugas resmi atau bahkan untuk kepentingan pribadi. Lemahnya pengawasan internal dan penegakan aturan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya penyalahgunaan senjata api.
Kasus penembakan di tol Tangerang-Merak dan di Semarang seharusnya menjadi peringatan keras bagi institusi militer dan kepolisian. Kedua peristiwa ini menunjukkan perlunya pembenahan dalam berbagai aspek, mulai dari pelatihan hingga pengawasan.
Membenahi Pengelolaan Senjata Api
Pelatihan psikologis menjadi salah satu kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa aparat mampu mengelola emosi mereka dalam situasi krisis. Dalam kondisi penuh tekanan, kemampuan untuk tetap tenang, mengambil keputusan rasional dan menentukan cara bertindak yang tepat, sangat penting untuk mencegah eskalasi kekerasan.
Selain itu, doktrin yang selama ini menekankan kekuatan dan kekerasan perlu diubah menjadi pendekatan yang lebih humanis. Aparat harus memahami bahwa tugas utama mereka adalah melindungi masyarakat, bukan menjadi ancaman. Proses pembinaan yang menekankan nilai-nilai kemanusiaan harus menjadi prioritas, sehingga penggunaan kekerasan hanya dilakukan dalam situasi yang benar-benar tidak dapat dihindari.
Pengawasan internal juga harus diperketat. Setiap penggunaan senjata api harus diawasi dengan ketat oleh atasan langsung, dan setiap pelanggaran harus ditindak secara transparan. Kasus-kasus seperti ini tidak boleh ditutupi, karena hanya dengan transparansi publik dapat kembali mempercayai institusi.
Belajar dari Kasus Lain
Belajar dari kasus penembakan Direktur PT Asaba pada 2003, meskipun pelaku adalah anggota TNI, proses hukum tetap berjalan secara transparan. Pelaku yang terbukti bersalah dijatuhi hukuman yang setimpal. Proses hukum semacam ini menunjukkan bahwa sistem dapat berjalan dengan baik jika ada komitmen dari institusi untuk menegakkan aturan tanpa pandang bulu.
Pada akhirnya, senjata api adalah alat yang berbahaya jika berada di tangan yang salah atau digunakan dengan cara yang tidak tepat. Kasus-kasus seperti di tol Tangerang-Merak dan Semarang harus menjadi pelajaran penting bagi institusi militer dan kepolisian untuk segera melakukan pembenahan. Regulasi yang ada harus diterapkan dengan lebih konsisten, pengawasan diperketat, dan pelatihan psikologis ditingkatkan.
Hanya dengan langkah-langkah ini, aparat dapat kembali menjalankan tugasnya sebagai pelindung masyarakat. Tidak boleh ada lagi nyawa yang melayang di ujung laras senjata karena kelalaian atau penyalahgunaan. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi keamanan negara harus dipulihkan melalui komitmen nyata untuk melindungi, bukan mengancam.
KHAIRUL FAHMI
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)