Thursday, September 18, 2025
spot_img
HomeGagasanAsyura: Melampaui Sekat Mazhab, Merajut Persatuan Umat

Asyura: Melampaui Sekat Mazhab, Merajut Persatuan Umat

Asyura dengan segala bentuk perayaan dan peringatan yang dilaksanakan setiap tahunnya, oleh sebagian orang kerap diidentikkan sebagai perayaan kaum Syi’ah. Hal ini dapat dipahami, mengingat dalam catatan sejarah, Imam Husein bin Ali yang merupakan imam suci ketiga dalam pandangan Syiah, terbunuh secara tragis dalam peristiwa Karbala yang terjadi pada tanggal 10 Muharam (Asyura) tahun 61 H. Meskipun latar belakang peringatan Asyura sering dikaitkan dengan Syi’ah karena berkaitan dengan syahidnya Imam Husein, sejatinya nilai-nilai dan makna filosofis dari peristiwa Karbala bersifat universal, melampaui batas mazhab dan aliran pemikiran manapun.

Sebagai penganut ajaran Ahlusunah waljamaah, pembaca mungkin merasa heran mengapa penulis mengangkat topik Karbala. Topik ini barangkali dianggap tidak lazim, mengingat dalam tradisi Ahlusunah, Asyura lebih dikenal sebagai momen peringatan atas keselamatan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun, dibanding sebagai peringatan atas gugurnya Imam Husein.

Namun setidaknya terdapat dua alasan utama mengapa penulis merasa perlu membahas topik ini. Pertama, tragedi Karbala merupakan peristiwa monumental yang menyimpan nilai-nilai perjuangan yang layak untuk dihayati dan dijadikan pedoman. Kedua, pembahasan diangkat sebagai bentuk ikhtiar untuk menemukan titik temu antara dua kutub besar dalam Islam, Sunni dan Syi’ah, guna meredam ketegangan sektarian yang tak kunjung usai.

Dalam poin pertama, penulis ingin menegaskan bahwa tragedi Karbala adalah peristiwa memilukan dalam sejarah Islam yang seharusnya tidak terulang kembali. Namun di balik kesedihan itu, Karbala juga menyimpan pelajaran mendalam yang tidak terbatas pada satu golongan tertentu. Nilai-nilai seperti perjuangan, pengorbanan, dan keberanian melawan tirani merupakan nilai luhur yang sangat dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. Bahkan, nilai-nilai ini merupakan nilai yang sama yang mengalir dan diwariskan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya.

Sayangnya nilai-nilai tersebut kini mulai tergerus. Kita seolah lebih nyaman mendengar ceramah yang menekankan cara berdamai dengan beragam kesulitan diakibatkan oleh kezaliman, ketimbang ajakan untuk melawan kezaliman tersebut dan memperjuangkan keadilan di hadapan kekuasaan yang sewenang-wenang.

Memperingati Asyura dengan mengangkat nilai-nilai dari tragedi Karbala, menurut hemat penulis, merupakan momentum tepat untuk membangkitkan kembali semangat umat yang selama ini tertidur, dan menyalakan bara perjuangan yang mulai padam. Perjuangan melawan kesewenang-wenangan dan pembelaan terhadap kaum lemah adalah prinsip suci yang seharusnya ditanamkan kepada masyarakat.

Nilai-nilai seperti ini akan melahirkan kesadaran kolektif atas pentingnya penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Lebih jauh lagi, nilai-nilai ini berpotensi menjadi fondasi perubahan sosial yang mengarah pada masyarakat yang lebih adil dan beradab, di mana kesewenang-wenangan tidak lagi mendapatkan tempat.

Adapun mengenai implementasi teknis dari nilai-nilai tersebut, kita dapat mewujudkannya melalui berbagai kegiatan apapun selama tidak bertentangan dengan syari’at. Bentuknya bisa berupa aksi solidaritas, kampanye media, baik visual maupun tulisan, dan kegiatan lain yang menggugah kesadaran publik terhadap pentingnya keadilan dan keberpihakan kepada yang tertindas.

Selain menanamkan nilai luhur, membicarakan tragedi Karbala juga merupakan langkah strategis untuk meredakan ketegangan sektarian antara Sunni dan Syi’ah. Selama ini, kedua kelompok ini sering dianggap sebagai dua kutub yang saling bersebrangan. Bahkan tidak sedikit yang dengan gegabah mengafirkan pihak lain hanya karena berbeda pandangan.

Dalam konteks masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya bermazhab Sunni, kelompok Syi’ah kerap dipandang asing dan menyimpang. Banyak dari mereka yang memiliki pandangan negatif terhadap Syi’ah, bahkan menuding bahwa Syi’ah bukan bagian dari Islam. Tuduhan ini, meskipun bisa dimaklumi karena disebabkan kurangnya pemahaman dan maraknya informasi yang menyesatkan, tetap harus diluruskan dengan pendekatan edukatif yang komprehensif.

Salah satu persoalan sektarian yang mendesak untuk diselesaikan adalah terkait standar penilaian, kelompok mana yang termasuk dalam Islam dan mana yang tidak. Dalam tradisi Ahlusunah, Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari telah memberikan pedoman bahwa selama suatu kelompok masih memegang prinsip-prinsip pokok keimanan Islam, maka kelompok tersebut tetap berada dalam lingkup Islam.

Standar ini sangat penting untuk disosialisasikan, agar masyarakat tidak terperosok ke dalam praktik takfir (pengkafiran) yang berbahaya. Kita telah melihat sendiri banyaknya dampak negatif dari praktik ini, contohnya seperti kasus diskriminasi terhadap komunitas Syi’ah di beberapa wilayah Indonesia yang bahkan berujung pada relokasi paksa.

Kenyataannya, mayoritas pengikut Syi’ah masih memegang prinsip-prinsip fundamental dalam Islam. Mereka meyakini keesaan Allah, kenabian Muhammad, hari akhir, dan nilai-nilai utama Islam lainnya. Oleh karena itu, tidak adil jika mereka serta merta dianggap keluar dari Islam hanya karena perbedaan dalam cara pandang atau metode berpikir.

Walhasil, peringatan Asyura sebagai momentum mengenang gugurnya Imam Husein di Karbala dapat dijadikan ajang refleksi dan pemersatu umat. Peringatan ini melampaui batas-batas mazhab, aliran, maupun identitas kelompok tertentu. Siapa pun yang memperingatinya, sepatutnya tidak lagi dicap dengan label yang tidak semestinya. Asyura adalah milik semua umat Islam yang mencintai keadilan dan menolak tirani, tanpa memandang latar belakang sektarian.(*)

RELATED ARTICLES

Perayaan Identitas

Otak Kerusuhan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular