Thursday, November 13, 2025
spot_img
HomeGagasanMencari Tumbal Utang Luar Negeri Indonesia

Mencari Tumbal Utang Luar Negeri Indonesia

Artikel ini mengulas bagaimana tertekannya ekonomi Indonesia setiap kali rupiah melemah terhadap dolar AS. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku (ADHB) tahun 2024 mencapai Rp 22.139 triliun. Sementara, utang luar negeri (ULN) Indonesia per Agustus 2025 setara 32,18% atau sepertiga dari total PDB ADHB. Angka ini mencakup utang seluruh pelaku ekonomi yaitu pemerintah, Bank Indonesia, maupun sektor swasta, bukan hanya utang pemerintah pusat.

Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI), publikasi bersama Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, melaporkan posisi ULN per Agustus 2025 mencapai USD 431,916 juta. Dengan kurs terlemah rupiah pada bulan tersebut, Rp 16.495 per dolar AS, total ULN Indonesia setara Rp 7.124,45 triliun. Dari jumlah itu, utang luar negeri Pemerintah Pusat mencapai USD 213,852 juta (Rp 3.527,49 triliun), utang Bank Indonesia USD 23,886 juta (Rp 393,99 triliun), dan utang sektor swasta USD 194,177 juta (Rp 3.202,95 triliun).

Sebagai pembanding, pada Februari 2014 ULN Indonesia masih di angka USD 272,100 juta. Artinya, dalam sebelas tahun terakhir, ULN naik 159 persen dalam denominasi dolar AS. Namun bila dihitung dengan rupiah, lonjakannya jauh lebih tinggi yakni 224,9% yakni dari Rp 3.166,7 triliun (kurs Rp 11.638/USD) pada Februari 2014 menjadi Rp 7.124,45 triliun (kurs Rp 16.495/USD) pada Agustus 2025.

“ULN Indonesia yang mencapai sepertiga dari PDB bisa menimbulkan risiko serius, baik bagi pemerintah maupun sektor swasta, apabila kurs rupiah terus terdepresiasi sementara pertumbuhan ekonomi tak mampu mengejar,” demikian catatan ekonom di Kompas dot com.

Kekhawatiran itu bukan tanpa dasar. Pada Selasa (8/4/2025), rupiah sempat menyentuh titik terlemah sepanjang sejarah sejak 1995, yakni Rp 16.849 per dolar AS (Investortrust dot id). Menjelang Hari Sumpah Pemuda, 27 Oktober 2025, rupiah kembali melemah ke Rp 16.621 per dolar, lebih rendah dibanding saat pelantikan Menteri Keuangan Purbaya yang masih di level Rp 16.309 per dolar.

Dalam satu dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil di kisaran 4,7–5,2% per tahun (di luar masa pandemi Covid-19). Namun, pada triwulan II 2025 Bank Indonesia melaporkan ULN tumbuh 6,1% (yoy), melampaui laju pertumbuhan ekonomi. Secara sederhana, seperti kata pepatah, “besar pasak daripada tiang.” Jika utang tumbuh lebih cepat dari pendapatan nasional, maka beban ekonomi akan terus membengkak, apalagi di tengah pelemahan kurs rupiah.

Lantas, bagaimana arah kebijakan ekonomi negara?

Langkah pemerintah menempatkan Rp 200 triliun kas mengendap di Bank Indonesia ke bank umum, dengan harapan memperluas likuiditas, belum menunjukkan hasil optimal. Uang beredar (M2) per September 2025 hanya naik Rp 114 triliun (1,18%) dari Agustus, menjadi Rp 9.771 triliun. Dari kenaikan tersebut, M1 (uang kartal dan giro) naik Rp 77,5 triliun, uang kuasi Rp 33,8 triliun, dan surat berharga selain saham Rp 2,7 triliun.

Peningkatan M1 sebenarnya memberi sinyal positif dimana roda ekonomi mulai berputar, transaksi uang dan barang meningkat. Namun, efek penempatan dana Rp 200 triliun hanya mampu menaikkan M1 sekitar sepertiganya. Meski data masih bersifat sementara, hasil itu menunjukkan multiplier effect belum bekerja maksimal.

Dalam teori ekonomi pembangunan, pertumbuhan ekonomi hanya bisa dipacu oleh peningkatan nilai tambah. Dua motor utama pencipta nilai tambah nasional adalah sektor ekstraktif dan sektor industri manufaktur. Selama nilai tambah terus meningkat -yang tercermin dari kenaikan PDB- maka risiko gagal bayar ULN dapat ditekan.

Salah satu indikator yang mencerminkan optimisme tersebut adalah indeks manufaktur (PMI). Dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia memiliki fondasi kuat untuk menumbuhkan industri ekstraktif dan manufaktur yang saling menopang. PMI di atas 50 menandakan ekspansi industri, di bawah 50 menunjukkan kontraksi. Sejak 2012, rata-rata PMI manufaktur Indonesia bertahan di angka 50,8 dan merupakan yang tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Thailand (51,7). Negara lain seperti Singapura (50,4), Vietnam (48,9), dan Malaysia (49,3) justru berada di bawah Indonesia.

Dalam tiga bulan terakhir, indeks PMI Indonesia menurut S&P Global menunjukkan tren positif yakni naik dari 49,2 (Juli 2025) ke 51,5 (Agustus), dan sedikit terkoreksi ke 50,4 (September). Artinya, meski ada fluktuasi bulanan, tren jangka panjang masih menunjukkan ekspansi yang sehat. Hal ini menandakan sektor manufaktur tetap menjadi tumpuan pertumbuhan nilai tambah ekonomi nasional.

Selain itu, neraca perdagangan juga memberi harapan. Pada semester I 2025, ekspor Indonesia mencapai USD 135,41 miliar, lebih tinggi dibanding impor USD 115,94 miliar (BPS, 2025). Surplus perdagangan ini menjadi bantalan penting menghadapi volatilitas nilai tukar dan beban utang luar negeri.

Akhirnya, membaca ekonomi makro tidak bisa berhenti pada angka fiskal atau moneter semata. Esensi pembangunan ekonomi tetap bertumpu pada penciptaan nilai tambah. Empat faktor produksilah yang menjadi pondasinya yakni sumber daya alam (tanah), modal, kewirausahaan, dan tenaga kerja. Teori klasik ini mungkin sederhana, tetapi justru di sanalah letak kekuatan dasar perekonomian Indonesia, asal dikelola dengan arah yang benar. Semoga.

WERDHA CANDRATRILAKSITA

Pemerhati Kebijakan Publik dan Kandidat Doktor Universitas Diponegoro

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular