
BANYUWANGI, CAKRAWARTA.com – Usulan untuk menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, menuai penolakan dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari kalangan muda Nahdlatul Ulama yang tergabung dalam Presidium Cabang Majelis Alumni Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Kabupaten Banyuwangi.
“Bagi kami, rekam jejak Presiden Soeharto tak sepatutnya diganjar gelar pahlawan nasional. Terlalu banyak catatan kekerasan yang dilakukan beliau beserta para kroninya selama berkuasa selama 32 tahun,” ujar Ketua Alumni IPNU Banyuwangi, Lukman Hadi Abdillah dalam keterangan yang diterima media ini, Jumat (7/11/2025).
Penegasan itu, lanjutnya, telah disampaikan Lukman bersama sejumlah Alumni IPNU Banyuwangi lainnya dalam acara “Haul Muassis dan Pejuang IPNU Banyuwangi” di Desa Pengantigan, Kecamatan Rogojampi pada Rabu (5/11/2025). Ia menilai, sejak awal kekuasaan Soeharto, berbagai kebijakan represif telah menimbulkan penderitaan di masyarakat, bahkan tak jarang berujung pada kematian.
“Pada masa itu, IPNU juga terkena dampak langsung dari kebijakan represif pemerintah. IPNU yang kala itu dianggap bagian dari kekuatan politik NU, kemudian PPP, kerap mendapat tekanan dari rezim,” tutur Lukman yang juga pengasuh Majelis Taklim Ababil di Genteng.
Lukman mengutip sejumlah kisah yang tercatat dalam buku “Pelajar Bergerak: Fragmen Sejarah IPNU Banyuwangi” karya Ayung Notonegoro, yang merekam pengalaman kader IPNU pada masa Orde Baru. Dalam buku tersebut, antara lain diceritakan pengalaman seorang kader IPNU Cabang Kabat, yang pada 1982 harus berurusan dengan aparat militer ketika menggelar konferensi tingkat kecamatan.
“Saat itu, acara Konferensi PAC IPNU Kabat tiba-tiba dihentikan aparat. Kader yang bertanggung jawab dibawa ke Koramil dan ditahan dua hari tanpa penjelasan,” kisah Lukman.
Selain penangkapan, tekanan juga dialami kader IPNU yang berstatus aparatur sipil negara (ASN). “Ada alumni IPNU angkatan 1960-an bernama Haji Misbah. Karena dikenal sebagai orang NU, kariernya sebagai guru nyaris tak berkembang, meski berprestasi. Bahkan, ia disalip murid-muridnya sendiri,” ungkapnya.
Menurut Lukman, pengalaman semacam itu hanyalah sebagian kecil dari banyak peristiwa kekerasan dan pelanggaran kemanusiaan yang terjadi selama masa Orde Baru. “Sungguh kita akan amat berdosa jika membiarkan seorang dengan rekam jejak sekelam itu dinobatkan sebagai pahlawan nasional,” pungkasnya.(*)
Editor: Abdel Rafi



