JAKARTA – Pemerintahan Jokowi-JK melalui PP Nomor 60 Tahun 2016 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang telah menaikkan tarif beberapa produk pelayanan di sektor kepolisian seperti STNK, BPKB, SIM dan lainnya. Tak pelak “kado tahun baru” ini mendapatkan respon dari publik dan tak sedikit yang mengkritisinya seperti yang dikemukakan Tulus Abadi dari YLKI.
YLKI sendiri adalah lembaga non profit bagi perlindungan konsumen di Indonesia. Menurut catatan Tulus Abadi setelah dilakukan kajian bersama timnya di YLKI pemakaian alasan adanya inflasi seperti diungkapkan Menteri Keuangan (Menkeu) sebagai dalih menaikkan tarif adalah kurang tepat.
“Kenaikan ini kurang tepat. Karena STNK atau SIM kan bukan produk jasa komersial tetapi pelayanan publik yang harus disediakan birokrasi. Alasan inflasi akan tepat jika produk tersebut adalah produk ekonomi komersial yang berbasis cost production dan benefit. Atau setidaknya produk yang dikelola oleh BUMN,” ujar Tulus Abadi dalam siaran persnya, Selasa (3/01/2017) malam.
Selain itu, Tulus menambahkan bahwa kenaikan tarif tersebut juga kurang relevan jika tanpa diikuti adanya proses reformasi di sisi pelayanannya. Menurutnya, sampai saat ini proses pelayanan penerbitan STNK dan BPKB, masih sering dikeluhkan publik karena waktunya yang lama.
“Bahkan pernah ada alasan stok blankonya masih kosong. Kenaikan itu harus ada jaminan untuk meningkatkan pelayanan saat proses pengesahan dan penerbitan STNK dan BPKB tersebut,” tegasnya.
Bahkan pihak YLKI mendesak bahwasanya kenaikan tarif tersebut harus paralel dengan reformasi pelayanan angkutan umum di seluruh Indonesia. Tentu hal itu tak lepas dari dalih bahwa Pemerintah memberlakukan kebijakan kenaikan tarif itu sebagai bentuk pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan mendorong migrasi ke angkutan umum.
(bm/bti)