Setelah lebih dari dua tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) memegang tampuk kekuasaan, ada catatan tentang keberhasilan dan juga kegagalan, dalam menjalankan program-program pemerintah. Kegagalan tersebut terutama disebabkan karena belum tuntasnya konsolidasi politik di tingkat elit sebagai kelanjutan dari konflik yang disisakan oleh Pemilu dan Pilpres tahun 2014. Sebagai akibatnya, keinginan untuk melakukan perubahan fundamental di segala bidang, sebagaimana digambarkan oleh Nawacita, tidak sepenuhnya berhasil.
Yang memprihatinkan untuk konsolidasi tersebut terpaksa harus dilakukan pembagian kekuasaan (power sharing) melalui pembagian kursi di kabinet. Padahal kabinet merupakan instrumen strategis dalam mengimplementasikan program-program yang dijanjikan oleh Presiden terpilih. Dengan demikian dapatlah dimaklumi jika selama ini telah dilakukan dua kali reshuffle selama dua tahun. Hal itu dikarenakan kinerja kementerian yang sampai sekarang masih belum optimal, khususnya dalam mewujudkan kabinet kerja seperti dicanangkan oleh Jokowi – JK.
Politik akomodatif melalui pembagian kursi kabinet juga memiliki cacat instrinsik, karena pada galibnya para menteri diusulkan oleh partai politik yang akan saling bersaing pada Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 2019 nantinya. Dapatlah dimengerti jika para menteri lebih mengedepankan kepentingan pragmatis (mendapatkan dana politik dan memupuk citra partai politik masing-masing) daripada bekerja untuk mencapai prestasi bagi pemerintahan saat ini. Alhasil dengan situasi seperti ini, program–program Pemerintah untuk melakukan perubahan mendasar akan berjalan lambat dan selalu kandas.
Di samping belum tuntasnya konsolidasi politik elit, konsolidasi atas para pelaku ekonomi yang selama ini memegang peran penting dalam sektor–sektor strategis juga masih belum maksimal. Berhubung para pelaku ekonomi tersebut juga mengklaim ikut memberi dukungan politik pada Pilpres 2014, mereka pun bisa semena-mena meminta proyek dan mengendalikan sektor–sektor strategis di bidang impor pangan dan bahan dasar industri, serta pembangunan infrastruktur. Sebagai dampaknya rakyat menderita kerugian ekonomi dan benefit yang sangat sangat signifikan.
Sementara politik akomodatif yang bersifat diametral berlangsung terus, banyak pula anomali–anomali kebijakan yang telah dikeluarkan Pemerintah. Keberanian untuk mengeluarkan anomali kebijakan ini didasarkan pada asumsi bahwa politik akomodasi seolah–olah telah menghasilkan konsolidasi politik yang menyeluruh. Di lain pihak, pemerintah tidak mengakomodir aspirasi massa rakyat (silent majority) yang selama ini secara tidak langsung mendukung kehadiran pemerintahan Jokowi–JK.
Massa rakyat yang kritis bukannya tidak mengerti tatkala menyaksikan berbagai anomali kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah. Dan rupanya tahun 2016 merupakan batas kesabaran kekuatan massa rakyat yang juga merasa bahwa Pemerintah lebih mengutamakan konsolidasi elit tetapi bukan melakukan konsolidasi dengan rakyat sebagai pemberi mandat. Dengan demikian jangan salahkan dan lontarkan tuduhan yang tidak proporsional, jika kemudian rakyat mencari jalan sendiri dalam melakukan unjuk rasa dan unjuk kekuatannya.
Kini saatnya para aktivis dan kaum intelektual, khususnya Forum Aktivis Gerakan Mahasiswa 77/78, mengambil peran agar antara negara (state) dan massa rakyat (society) dapat berhubungan secara sinergis. Kekuatan massa rakyat sebagai modal sosial (social capital) harus diberdayakan agar tetap menjadi kekuatan demokrasi yang konstruktif. Karena kekuatan rakyat dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) selalu menjadi benteng terakhir ketika negara dikuasai oleh rejim yang memerintah berdasarkan keinginannya sendiri (despotism).
S. INDRO TJAHYONO
Koordinator Aktivis Gerakan Mahasiswa (GEMA) 77/78