
TAKENGON, CAKRAWARTA.com – Keputusan kontroversial majelis hakim Pengadilan Negeri Takengon dalam sidang kedua kasus penganiayaan memicu gelombang kemarahan dan kekecewaan. Terdakwa Mulyadi, yang sebelumnya ditahan di Rumah Tahanan (Rutan), justru dibebaskan dan dialihkan statusnya menjadi tahanan kota.
Ironisnya, alasan yang digunakan hakim terkesan mengada-ada: Mulyadi disebut masih menjabat sebagai Reje (Kepala Desa) dan dianggap memiliki tanggung jawab terhadap kegiatan desa. Padahal, fakta di lapangan berkata sebaliknya.
“Itu bohong besar! Mulyadi sudah lama diberhentikan dari jabatannya. Sudah ada Penjabat Kepala Desa yang resmi ditunjuk oleh kecamatan,” tegas Ummi Kalsum, pelapor yang juga warga Kampung Kala Kemili, Kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah, dalam keterangannya, Senin (26/5/2025).
Ummi bukan sekadar kecewa. Ia merasa keadilan diinjak-injak. “Ini bukan kasus ecek-ecek! Ini pengeroyokan! Ini penganiayaan terhadap perempuan dan anak di bawah umur! Bagaimana mungkin pelaku malah diberi keistimewaan seperti ini?!” katanya lantang, menahan amarah.
Ia juga menyebutkan nama-nama majelis hakim yang dianggap bertanggung jawab atas keputusan yang mencederai rasa keadilan masyarakat:
- Rahma Novatiana, S.H. (Ketua Majelis Hakim)
- Bani Muhammad Alif, S.H. (Hakim Anggota)
- Chandra Khoirunnas, S.H., M.H. (Hakim Anggota)
Ummi bersumpah tak akan tinggal diam. Ia akan membawa perkara ini ke Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat dan segera menyurati Komisi Yudisial Republik Indonesia untuk mengusut dugaan ketidaknetralan dan kemungkinan permainan dalam proses hukum.
“Ini bukan soal pribadi. Ini soal nasib masyarakat kecil. Kalau hukum bisa dibeli, lalu di mana tempat kami menaruh harapan?” tegas Ummi.
Keputusan majelis hakim ini pun menjadi bara dalam sekam bagi masyarakat Takengon. Aktivis hukum dan warga mulai angkat suara, mendesak agar lembaga pengawasan peradilan turun tangan. Mereka menuntut keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu.
Gelombang protes dari Kampung Kala Kemili bukan sekadar jeritan. Ini adalah perlawanan dari rakyat kecil yang tak mau lagi diinjak oleh keadilan yang timpang. Pertanyaannya kini: Apakah hukum akan tetap buta, atau akhirnya melihat jerit mereka yang selama ini dibungkam? (*)
Editor: Tommy dan Abdel Rafi