
BOGOR, CAKRAWARTA.com – Di sebuah sudut kaki Gunung Salak, tepatnya di TBM Lentera Pustaka, harapan tumbuh dari hal-hal yang paling sederhana: selembar kertas, sebatang pensil, dan… seliter beras.
Setiap Minggu siang, antara pukul 13.30 hingga 15.00 WIB, 5 hingga 9 ibu rumah tangga dari kampung sekitar datang berjalan kaki, duduk bersila di lantai, dan membuka buku tulis mereka. Mereka bukan murid biasa. Mereka adalah para perempuan yang selama puluhan tahun hidup dalam sunyi huruf. Tidak tahu cara mengeja nama sendiri, tak paham arti tanggal lahir, meski sudah memegang KTP. Tapi kini, mereka menulis, mengeja, dan menandatangani nama mereka sendiri — dengan bangga.
Di sinilah program GEBERBURA atau Gerakan Berantas Buta Aksara hadir, digagas oleh Dr. Syarifudin Yunus, M.Pd, pendiri TBM Lentera Pustaka sekaligus dosen FBS Unindra. Ia tahu, memberantas buta aksara bukan soal mengajar huruf demi huruf semata, melainkan perjuangan panjang untuk memulihkan martabat manusia.
Maka ia pun membuat sebuah “hadiah kecil”: seliter beras atau sebungkus mie instan untuk setiap ibu yang hadir dan tekun belajar. Bukan karena mereka miskin, bukan karena beras itu nilainya besar. Tapi karena kehadiran mereka di tengah rutinitas rumah tangga yang melelahkan, adalah sebuah perjuangan yang layak diapresiasi.
“Tidak ada absensi, tidak ada rapor, tidak ada ujian. Tapi mereka tetap datang. Karena mereka ingin belajar. Karena mereka ingin berubah,” ucap Syarifudin pada media ini, Senin (26/5/2025).
Memang, perjuangan memberantas buta aksara tak selalu mudah. Kadang ada yang berhenti karena sakit, pindah rumah, atau merasa malu. Tapi semangat tak pernah padam. Relawan datang silih berganti, duduk bersisian dengan para ibu, mengajarkan huruf demi huruf, kata demi kata, dengan kesabaran tanpa batas.
Kini, sembilan ibu belajar aktif di TBM Lentera Pustaka. Satu demi satu mulai bisa menulis nama anaknya, membaca papan nama di jalan, bahkan menuliskan pesan singkat di ponsel suaminya. Sebuah lompatan besar dalam hidup mereka.
“Dulu saya cuma bisa tanda tangan pakai cap jempol. Sekarang bisa tulis nama sendiri. Anak saya sampai peluk saya, katanya: ‘Ibu hebat’,” cerita Bu Aminah, salah satu warga belajar, dengan suara bergetar.
Seliter beras itu, bukan sekadar makanan. Ia adalah lambang penghargaan atas semangat yang menyala, atas keberanian memulai sesuatu di usia yang tidak muda. Di zaman digital ini, mereka berjuang melawan keterbatasan, demi martabat, demi harga diri, demi masa depan yang lebih terang.
TBM Lentera Pustaka membuka pintu bagi siapa pun yang ingin jadi relawan. Tidak perlu gelar tinggi, cukup hati yang peduli. Karena di balik tiap huruf yang mereka ajarkan, ada hidup yang berubah, ada harga diri yang dipulihkan.
Dan kalau masih ada yang bertanya, “Belajarnya karena seliter beras, ya?”
Mungkin mereka tak paham. Ini bukan soal beras. Ini soal cinta kepada ilmu. Ini soal kemanusiaan. Ini tentang menjadi cahaya kecil di tengah gelapnya buta aksara.
Karena kadang, perubahan besar dimulai dari secuil harapan — bahkan dari seliter beras.(*)
Editor: Tommy dan Abdel Rafi