
JAKARTA – Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai bahwa keberadaan Omnibus Law bidang Kesehatan (UU Kesehatan) yang baru saja disahkan oleh DPR RI pada Selasa (11/7/2023) lalu, dalam banyak hal harus disorot atau bahkan diprotes dengan tajam.
“Salah satu hal yang mengantongi cacat fatal pada UU Kesehatan adalah ketentuan pada Pasal 151 ayat 3, yang mewajibkan adanya fasilitas atau tempat khusus untuk merokok (smoking room) pada tempat umum dan tempat kerja,” ujar Tulus Abadi pada media ini, Sabtu (15/7/2023).
Menurut Tulus Abadi, ketentuan yang diatur pada Pasal 151 ayat 3 UU Kesehatan tersebut kelihatannya sepele, tetapi secara fundamental pasal tersebut, ia nilai cacat secara normatif, ideologis, dan bahkan etik moral.
“Bagaimana mungkin aktivitas penggunaan zat adiktif dengan merokok yang nota bene menyakiti dan merusak dirinya dan orang lain, bahkan merupakan aktivitas bunuh diri, tetapi harus disediakan infrastruktur atau fasilitas khusus?” tanya Tulus retoris.
Pegiat anti-tobacco itu menjabarkan bahwa dari perspektif apa pun ketentuan tentang kewajiban menyediakan smoking room adalah sebuah logical fallacy.
“Betul, sebuah sesat pikir, alias keblinger,” tegasnya.
Jika dituruti, lanjut Tulus, maka ke depannya orang yang menggunakan minuman beralkohol atau miras bisa juga menuntut hak yang sama dimana mereka menuntut adanya ruang khusus, untuk minum dan mabuk.
“Karena tembakau atau rokok dan minuman beralkohol atau miras yang legal sama sama benda atau komoditas yang kena cukai,” paparnya.
Selain itu, dari perspektif ekonomi, lanjut Tulus, ketentuan menyediakan smoking room juga akan memberatkan karena pengelola tempat umum atau tempat kerja harus membangun atau menyediakan ruang khusus untuk merokok.
“Tentu kebijakan tersebut sangat kontraproduktif. Sungguh keblinger!” tandasnya.
Tulus menilai sangat aneh ketika masyarakat untuk menjadi sehat malah dihalangi-halangi justru oleh negara.
“Negara justru mendorong dan menjustifikasi aktivitas “bunuh diri” oleh warganya dengan zat adiktif. Inilah sesat pikir dari UU Kesehatan pada aspek pengendalian tembakau. Pasal 151 ayat 3 yang sesat pikir ini harus segera dicabut, tentunya melalui proses uji materi di Mahkamah Konstitusi,” tegasnya mengakhiri keterangan.
(bm/raf)