
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Banjir dan longsor besar kembali menimpa sejumlah wilayah di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Ribuan warga mengungsi, akses logistik lumpuh, dan bantuan terlambat tiba. Dalam situasi serba darurat itu, sebagian warga terpaksa mengambil bahan kebutuhan pokok dari minimarket, tindakan yang kemudian oleh sejumlah media diberi label ‘penjarahan’.
Bagi Suko Widodo, pakar komunikasi dan politik kebencanaan Universitas Airlangga, pelabelan itu tidak hanya keliru, tetapi juga menyiratkan absennya negara dalam menjamin kebutuhan dasar warganya pada masa krisis.
“Mereka mengambil untuk makan, untuk bertahan hidup. Ini situasi darurat. Yang harus kita tanyakan adalah: mengapa negara tidak hadir?” ujar Suko, Senin (8/12/2025).
Suko menilai, framing ‘penjarahan’ dalam kondisi darurat justru memperburuk stigma terhadap korban. Ia menegaskan bahwa tindakan tersebut lahir dari keterdesakan akibat minimnya pasokan dan lemahnya distribusi bantuan.
“Menyebutnya penjarahan adalah framing yang tidak adil. Banyak jurnalis kurang memahami prinsip jurnalisme kebencanaan, sehingga pilihan diksi dan sudut pandangnya keliru,” ujarnya.
Dalam jurnalisme kebencanaan, kata Suko, empati adalah elemen utama. Jurnalis dituntut memahami konteks psikologis dan sosial korban sebelum memberi penilaian moral yang dapat memperburuk trauma dan persepsi publik.
Ia juga menyoroti gaya komunikasi pejabat yang kadang justru memperkeruh keadaan. Di saat publik membutuhkan arahan jelas, beberapa pernyataan yang muncul bersifat analitis, ambigu, atau minim data.
“Dalam kondisi darurat, pejabat seharusnya memberi pernyataan informatif dan direktif. Jangan memberi komentar tanpa data yang justru memicu salah paham,” tegas Suko.
Pejabat, menurutnya, harus memastikan setiap pernyataan resmi didasarkan pada fakta lapangan yang valid, sebab satu kalimat yang salah dapat berdampak pada persepsi publik dan stabilitas sosial.
Rapuhnya Manajemen Bencana
Fenomena warga mengambil sembako, menurut Suko, adalah gejala yang lebih besar: lemahnya manajemen bencana dan minimnya kesiapan negara dalam mengantisipasi situasi ekstrem.
“Fenomena ini menunjukkan negara belum mampu menjamin kebutuhan warganya dalam keadaan darurat. Maka muncullah efek samping yang buruk,” ucapnya.
Ia menambahkan bahwa akar masalahnya bukan hanya soal logistik, tetapi melibatkan persoalan struktural seperti pelanggaran regulasi lingkungan, pembukaan lahan sembarangan, dan lemahnya mitigasi bencana.
“Banyak kebijakan lingkungan dilanggar demi keuntungan pribadi. Alam rusak, manusia menanggung akibatnya. Pemerintah harus tegas menegakkan regulasi,” katanya.
Di tengah kondisi yang masih berkembang, Suko mengingatkan bahwa penanganan bencana membutuhkan kolaborasi erat antara pemerintah dan masyarakat. “Dalam keadaan seperti ini, semua pihak harus bahu-membahu. Pemerintah dan warga harus bersinergi membantu saudara-saudara kita yang terdampak,” pungkasnya.(*)
Kontributor: PKIP
Editor: Abdel Rafi



