Friday, April 26, 2024
HomeGagasanTernyata Saddam Hussein Itu Tidak Kejam

Ternyata Saddam Hussein Itu Tidak Kejam

 

Entah mengapa buku penulis Amerika Serikat (AS) Will Bardenwerper berjudul: “The Prisoner in His Palace: Saddam Hussein and the Twelve Americans Who Guarded Him,” terbitan tahun 2017 ini, di akhir Juli 2020 banyak diulas media massa on line dan cetak di Indonesia.

Ternyata, setelah membaca resensi singkatnya, sosok Will Bardenwerper, tentara Amerika Serikat yang bertugas menjaga Saddam Husein menjelang digantung  di tiang gantungan, adalah salah seorang yang berani mengungkapkan, sosok Mantan Presiden Irak Saddam Hussein itu apa adanya. Saddam Hussein adalah orang baik, tidak kejam dan penuh kasih sayang.

Meski orang Amerika, tentara ini membongkar kebusukan negaranya yang menutup-nutupi, bahkan menyebut Saddam diktator yang kejam.

Diungkapkan oleh Will Bardenwerper, saat detik-detik menjelang ajal Saddam Hussein ditiang gantungan yang tak banyak diketahui masyarakat Irak dan internasional.

Pada awal tahun 1980 sampai 2000-an, ujar Will Bardenwerper, Saddam Hussein sangat terkenal di dunia karena dia adalah Presiden Irak.

Ditambahkannya, para penjaga yang diwawancarai dirinya, mendengar suara tertawa Saddam sangat kencang dan mirip dengan karakter The Count dari serial TV Sesame Street.

”Dia juga suka naik sepeda statis untuk berolahraga. Sepeda itu bahkan dikasih nama Pony,” sambungnya.

Ditulis Bardenwerper, Saddam suka menghabiskan waktunya di dalam penjara dan duduk sambil menulis sesuatu. Terkadang, dia akan mengajak penjaga mengobrol dan mendengarkan cerita-cerita mereka mengenai keluarga masing-masing.

Suatu ketika, Saddam bercerita kalau dia pernah marah berat dengan salah seorang anak lelakinya, Uday. Uday yang punya masalah emosional tingkat tinggi pernah marah di salah satu pesta dan menembaki para undangan. Dalam kejadian itu, Uday membunuh beberapa orang termasuk adik Saddam sendiri. ”Saya sangat-sangat marah dengannya sampai-sampai saya membakar semua mobilnya,” kata Saddam kepada penjaga penjara yang sebagian besar adalah tentara AS.

Mobil-mobil yang koleksi Uday padahal tidak ada yang murah. Koleksinya antara lain Rolls-Royce, Ferrari, dan Porsche.

Yang mengejutkan, para penjaga yang menjaga Saddam di penjara mengaku sangat sedih ketika Saddam dihukum mati meski dia adalah musuh AS. Salah seorang tentara, Adam Rogerson mengatakan kalau dia merasa sudah mengecewakan Saddam.

”Saya hampir merasa seperti pembunuh. Saya merasa saya membunuh lelaki yang dekat dengan saya,” katanya.

Setelah Saddam meninggal dunia, mayatnya dibawa keluar ruang eksekusi yang sudah penuh dengan warga Iraq. Di sana, penduduk meludahi mayatnya dan memukulinya.

Tetapi, dalam kesempatan itu, 12 tentara AS yang menjaga Saddam di dalam penjara selama berbulan-bulan merasa ikut terluka. Bahkan salah seorang dari mereka berusaha lari untuk melarang warga melakukan hal itu. Tetapi, dia ditarik oleh rekannya yang lain.

”Kami sudah menganggapnya sebagai kakek sendiri,” kata salah seorang mantan penjaga.

Seorang suster militer, Ellis, suatu ketika menceritakan kepada Saddam kalau kakaknya meninggal dunia. ”Saddam kemudian memeluk saya dan mengatakan, aku akan menjadi kakakmu,”” kenang Ellis.

Saddam juga mengatakan kepada penjaga-penjaganya kalau dia akan membiayai sekolah anak-anak mereka bila bisa mendapatkan akses hartanya.

Orang dekat Saddam Hussein banyak dihukum mati, di antaranya orang kepercayaan sekaligus sekretaris pribadi Saddam Hussein, Abed Hamid Hmoud, dieksekusi dengan digantung. Orang nomor empat dalam daftar pencarian AS di Irak itu dieksekusi, karena melakukan genosida atau pembunuhan secara massal terhadap warga Irak.

Menteri Kehakiman Irak, Haidar al-Sadii, mengatakan, jasad Hmoud akan diserahkan kepada keluarganya.

Hmoud adalah pejabat senior terbaru yang dieksekusi setelah jatuhnya Saddam Hussein selama invasi AS sembilan tahun yang lalu. Hmoud adalah orang kelima Saddam yang dieksekusi di Irak.

Hmoud yang merupakan sepupu jauh Saddam yang ditangkap oleh pasukan AS pada Juni 2003, tiga bulan setelah invasi. Ia orang nomor empat yang dicari AS setelah Saddam dan kedua putranya, Qushai dan Uday. Hmoud yang berusia 50 tahun itu dieksekusi, karena menumpas anggota partai oposisi dan partai-partai keagamaan yang dilarang di era pemerintahan Saddam. Hanya partai berkuasa Baath yang diizinkan

Dia juga termasuk di antara 15 orang yang diadili, karena peran brutal dalam menghalau pemberontakan rakyat setelah 1991.  Sebagai sekretaris pribadi Saddam, Hmoud mengontrol akses presiden Irak dan merupakan salah seorang dari sedikit orang yang dipercaya sepenuhnya oleh Saddam Hussein.

Sebelumnnya, eksekusi gantung telah dilakukan terhadap sepupu Saddam yang dikenal dengan sebutan Chemical Ali. Begitu pula menteri luar negeri Saddam, Tariq Aziz, yang dihukum pada 2010. Eksekusi para mantan pejabat rezim Saddam adalah topik sensitif di Irak. Ketegangan sektarian sangat tinggi sejak pasukan AS terakhir meninggalkan negara itu.

Meski Vatikan telah mengajukan banding terhadap pemerintah syiah Irak agar tidak mengeksekusi Aziz, tetap saja ia dihukum mati. Menurut Vatikan, kematiannya tidak akan membantu usaha rekonsiliasi di Irak.

Ternyata hukuman gantung masih populer di Irak. Sebuah penyiksaan yang tidak dapat dibayangkan di abad ini.

Uday Saddam Hussein

Mendengar tentang Uday Saddam Hussein, mengingatkan saya tentang perjalanan saya ke ibu kota Irak, Baghdad, bulan Desember 1992, karena pihak Kementerian Olah Raga Irak (Uday adalah Ketua Umumnya) memberitahu saya, bahwa putra Saddam Hussein itu bersedia melakukan wawancara dengan saya.

Saya bergegas ke Gedung Kementerian Olah Raga Irak tersebut. Tidak lama Uday datang dengan pengawalan ketat. Beberapa menit kemudian, saya memasuki Gedung Kementerian Olah Raga Irak. Uday kemudian batal bertemu saya, karena situasi di Irak tidak kondusif.

Saya kemudian kembali ke hotel di mana saya menginap. Tidak lama terdengar lagi telepon. Saya ternyata di rekomendasikan Uday kepada Menteri Perindustrian dan Perlogaman Irak yang masih bersaudara dengan Presiden Irak Saddam Hussein.

Perlu juga saya jelaskan perjalanan ke Irak, di bulan Desember 1992 tersebut. Sebelum Irak di invasi pasukan AS yang menjadi Duta Besar untuk Indonesia terakhir di masa kepemimpinan Presiden Irak Saddam Hussein adalah Dr.Sa’doon al-Zubaydi. Ia adalah mantan kepala penterjemah Presiden Irak tersebut. Itu terjadi setelah saya mengunjungi negara itu pada bulan Desember 1992.

Apa yang saya lihat di negara 1001 malam itu? Menyaksikan penderitaan rakyat Irak setelah Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberlakukan sanksi ekonomi dan membatasi larangan terbang sepanjang garis paralel 36 di Utara dan garis paralel 32  Selatan Irak. Dampak larangan terbang tersebut berpengaruh besar terhadap siapa saja yang datang ke Irak. Bandara Baghdad ditutup dan jalan satu-satunya menuju Irak hanya melalui Jordania, tetangga Irak yang tetap bersahabat di saat-saat Irak dalam kesulitan.

Berapa jarak yang saya tempuh? Secara keseluruhan 885 kilometer. Ketika itu saya menempuhnya dengan taksi dari ibukota Jordania (Amman) ke ibukota Irak (Baghdad) sekitar 13 jam.

Situasi kota Baghdad terasa sejuk dan aman waktu itu. Meski AS menyerang Irak, tetapi Presiden Irak Saddam Hussein masih berkuasa. Menurut Menteri Industri Perlogaman Irak, Amir al-Saadi yang bersedia menerima saya dalam sebuah wawancara khusus, serangan AS dan sekutunya itu terjadi sebanyak 72 kali di pusat-pusat penting pemerintahan dan pusat perbelanjaan rakyat. Pemboman tanggal 19 Januari 1992 itu membuat rakyat Irak menderita. Sanksi yang diberlakukan kepada Irak tidak pernah dicabut. Malah serangan AS beserta sekutunya terutama Inggris itu yang terakhir di masa Presiden AS George Walker Bush berkuasa, berhasil menggulingkan pemerintahan Presiden Irak Saddam Hussein pada April 2003. Orang kuat di Irak itu pada Sabtu, 30 Desember 2006 dijatuhi hukuman mati dengan digantung.

Mengapa saya menulis tentang Presiden Irak Saddam Hussein?

Itulah pertanyaan belakangan ini yang dialamatkan kepada saya. Tetapi pertanyaan itu sangat mudah dijawab, ketika seseorang mengamati perkembangan tentang “Negara 1001 Malam,” itu.

“Negara 1001 Malam, ” itulah julukan yang diberikan kepada negara yang terletak di antara garis litang 37.25 derajat dan 29.5 derajat, serta garis bujur 48.45 derajat dan 38.45 derajat. Wilayahnya meliputi area seluas 438.446 kilometer persegi dengan areal yang dapat ditanam 75.364 kilometer perdegi.

Sudah tentu, data ini saya cuplik tahun 1998, ketika menulis buku “Saddam Hussein Menghalau Tantangan” (Jakarta: Penebar Swadaya, 1998).

Buku Saddam Hussein ini merupakan catatan saya selama berkunjung ke Irak untuk pertama kalinya pada Desember 1992, ketika negara itu dikucilkan oleh negara-negara Arab lain, karena Irak menyerang Kuwait dan menganeksasi wilayah itu sebagai bagian dari Irak.

Di sinilai dimulai sengketa awal Irak dengan AS yang ketika terjadi Perang Irak-Iran pada 22 September 1980, AS selalu mendukung Irak.

Pada waktu itu, Indonesia dan negara lain, umumnya negara Dunia Ketiga, ikut menentang embargo ekonomi dan udara yang dilakukan AS. Hanya Jordania yang membuka jalan darat ke ibu kota Irak Baghdad.

Menteri Luar Negeri RI Ali Alatas waktu itu cemas dan mengingatkan AS agar tidak menyerang Irak.

Tokoh pers Burhanudin Mohamad Diah (B.M.Diah), juga ikut mengingatkan hal yang sama. Inilah latar belakang mengapa B.M.Diah mengutus saya langsung ke Irak. Jika hanya berdasarkan informasi dari negara maju, sudah tentu memihak AS dan sekutunya.

Buku Saya Sudah Tentu Dibaca Presiden Saddam Hussein

Pada tanggal 24 Juni 1998, saya menerima surat dari Kedutaan Besar Irak di Jakarta. Surat itu datang dari Kantor Sekretaris Pers Presiden Republik Irak yang menyatakan penghargaan mengenai buku yang saya tulis: “Saddam Hussein: Menghalau Tantangan,”(Jakarta: PT.Penerbit Swadaya, 1998).”

“Terimakasih atas simpatinya dan sikap mendukung jihad/perjuangan Irak beserta prinsipnya,” jelas isi surat tersebut. Sudah tentu buku tersebut telah dibaca oleh Presiden Irak Saddam Hussein. Saya yakin telah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Arab, untuk memudahkan Presiden Saddam Hussein membacanya.

Selanjutnya pada 13 Agustus 1998, saya diundang oleh Duta Besar Irak di Jakarta Dr.Sa’doon J al-Zubaydi untuk menerima penghargaan dari Kedutaan Besar Irak di Jakarta secara resmi. Duta Besar Irak ini adalah mantan Penterjemah Kepala Presiden Saddam Hussein.

Setelah upacara kehormatan ini dipublikasi harian “Kompas” edisi Sabtu, 15 Agustus 1998, maka pada 18 September 1998 dan 23 September 1998, dua buah surat ucapan selamat datang dari Direktur Jenderal Radio-Televisi-Film Drs.Ishadi SK, M.Sc dan dari Menteri Penerangan RI yang ditanda-tangani oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika H.Dailami. Kedua surat tersebut diberi tembusan kepada Menteri Luar Negeri RI dan Duta Besar Irak di Jakarta.

Tahun itu juga nama Presiden Saddam Hussein kembali terdengar di dunia internasional setelah dihukum gantung. Seorang agen CIA bernama John Nixon, juga menulis sebuah buku: “Debriefing the President: The Interrogation of Saddam Hussein.” Penulis buku inilah yang pertama kali menginterogasi Saddam Hussein setelah berhasil ditangkap.

Di dalam wawancara itu ternyata Saddam Hussein tidak pernah terbukti menyimpan senjata pemusnah massal sebagaimana dituduhkan AS di bawah Presiden AS George Walker Bush.

Juga di dalam interogasi tersebut, dinyatakan, Saddam Hussein sangat mencintai kedua putrinya Rana dan anak perempuan tertuanya Raghad, yang sekarang bermukim di Jordania. Sewaktu ayahnya dihukum gantung, anak perempuannya ini mengaku tidak ingin melihatnya di televisi. Berkemungkinan tidak tega, sang ayah digantung. Sebagai orang tua, Saddam Hussein juga mencintai kedua anak laki-lakinya, Uday dan Qusay yang telah tewas.

Kembali ke masalah Duta Besar Irak di Jakarta, Dr. Sa’doon al-Zubaydi. Tubuhnya sedikit agak tinggi, tetapi kurus, itulah Dr. Sa’doon al-Zubaydi. Tetapi jika mencari namanya dengan ejaan lengkap di atas, di wikipedia, maka tidak mungkin menemukannya, karena namanya tertulis: Sadoun al-Zubaydi tanpa menyebutkan gelar akademiknya sebagai seorang doktor. Malah disebutkan juga, ia adalah seorang mantan profesor sastra Inggris berpendidikan Inggris di Universitas Cambridge.

Banyak yang tidak mengetahui nasib orang kepercayaan Presiden Irak Saddam Hussein itu setelah AS menyerang dan menduduki Irak  pada tahun 2003, tepatnya pada tanggal 20 Maret 2003.

Terakhir sekali saya memperoleh informasi, bahwa Dr. Sa’doon J. al-Zubaydi sudah kembali ke Baghdad sebelum Presiden Irak Saddam Hussein digantung. Sebelum Saddam Hussein digantung, Sa’doon J. al-Zubaydi muncul di Irak dari ketidakjelasan yang dipaksakan sendiri pada tahun 2005 untuk memberi nasehat kepada kelompok Muslim Sunni atas draf Konstitusi Irak. Dia juga disebut-sebut menjadi sasaran target khusus oleh sejumlah milisi yang berafiliasi ke kelompok al-Qaeda. Di bulan Maret 2008, ia hidup dalam pengasingan di Suriah. Hingga hari ini tidak seorang pun tahu nasibnya.

Nasib Duta Besar Irak untuk Indonesia dari tahun 1995-2001 itu lebih beruntung dari presidennya yang dihukum gantung. Bagaimana pun kedua-duanya terasing dari sejarah Irak. Itu pun tergantung dari sejauh mana kecintaan rakyat Irak kepada mereka. Jika ini yang terjadi, meski mereka telah tiada, namanya akan muncul di hati masyarakat Irak.

Saya ketika Duta Besar Irak  untuk Indonesia Dr. Sa’doon J. al-Zubaydi menjabat dari tahun 1995-2001 sering berkomunikasi dengan beliau di Kedutaan Besar Irak, Jakarta.

Saya ke Irak untuk kedua kalinya di bulan September 2014, meskipun tidak bertemu dengan Presiden Irak Saddam Hussein, karena ia telah digantung.

Situasi Irak tahun 2014 itu masih belum kondusif, karena pengikut Saddam Hussein masih menentang perlakuan AS dan sekutunya. Tetapi yang jelas buat saya, buku yang saya tulis telah dibaca Presiden Irak Saddam Hussein.

Penghargaan berupa hadiah, saya sudah terima di Kedutaan Besar Irak di Jakarta. Itulah sebuah kenangan berharga selama saya menjadi wartawan.

 

DASMAN DJAMALUDDIN

Wartawan dan Sejarawan Senior

RELATED ARTICLES

Most Popular