Surabaya, – Pemerintah tengah menggodok kebijakan baru terkait pemotongan gaji pekerja untuk pengumpulan dana pensiun. Kebijakan baru ini digagas untuk melindungi kesejahteraan pekerja di masa tua. Namun, rencana ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pekerja yang merasa sudah terbebani berbagai pungutan.
Menurut Pengamat Kebijakan Publik Universitas Airlangga, Gitadi Tegas Supramudyo, kebijakan tersebut harus berdasarkan pada pemahaman mendalam mengenai substansi masalah yang ingin pemerintah pecahkan.
“Setiap kebijakan harus mempertimbangkan siapa yang diuntungkan dan siapa yang terdampak. Dalam kasus ini, ada dua kelompok utama. Pertama, pemerintah yang ingin melindungi kesejahteraan hari tua pekerja. Kedua, para pekerja yang merasa sudah terbebani berbagai pungutan dan memiliki kepentingan yang berseberangan,” ujar Gitadi dalam keterangannya, Rabu (11/9/2024).
Gitadi juga menekankan pentingnya kajian menyeluruh untuk menemukan solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. “Kebijakan ini harus berpihak pada publik pekerja dan kesejahteraan mereka di masa pensiun,” imbuhnya.
Gitadi juga menyoroti bahwa pemotongan gaji pasti akan memberatkan pekerja, terutama mereka dengan pendapatan rendah. Oleh karena itu, perlu ada strategi komunikasi yang cerdas dan terencana menjadi kunci untuk menghindari penolakan publik.
“Yang harus diekspos bukan soal pemotongan gaji, melainkan bagaimana dana ini akan melindungi hari tua pekerja. Pemerintah juga harus menunjukkan peran mereka dalam skema ini, sehingga tidak terlihat hanya membebankan pekerja dan perusahaan,” jelas Gitadi.
Dengan rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah, lanjut Gitadi, menunjukkan bahwa kebijakan ini bisa berisiko menimbulkan ketidakpercayaan lebih besar. Hal ini memungkinkan masyarakat melihat sebagai upaya sepihak tanpa adanya kontribusi dari pemerintah.
Lebih lanjut, Gitadi menyarankan agar sebelum kebijakan ini diterapkan. Pemerintah memetakan dan menginventarisasi berbagai jenis program pensiun yang ada di Indonesia. “Program pensiun sangat variatif, terutama bagi PNS yang mendapat 80% dari gaji pokok terakhir. Di BUMN dan perusahaan swasta besar, pesangon sering kali menjadi pilihan, dengan besaran yang berbeda-beda tergantung kebijakan internal,” jelasnya.
Gitadi juga menekankan perlunya perumusan formula baru yang melibatkan tim representatif dari berbagai sektor. “Formula yang lebih adil harus dirumuskan melalui tim yang mewakili beragam sektor ini. Dengan begitu, bisa mencapai solusi yang menguntungkan semua pihak,” ungkapnya.
Sebagai alternatif, Gitadi mengusulkan penggunaan asuransi yang langsung dibayarkan oleh perusahaan. Menurutnya, hal ini bisa menjadi alternatif bagi para pekerja dengan gaji kecil. Menurutnya, pemotongan gaji tidak bisa secara tidak langsung menjadi solusi.
“Pemotongan gaji memang dapat menjadi alternatif. Tetapi negara harus turut menanggung sebagian dana pensiun pekerja, terutama bagi mereka yang berpenghasilan kecil,” pungkasnya.
(khefti/rafel)