
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Jagat media sosial tengah ramai memperbincangkan perubahan mencolok dalam program Makanan Bergizi Gratis (MBG) di sejumlah daerah. Warganet mempertanyakan kebijakan terbaru yang mengganti paket makanan bergizi dengan snack kemasan. Fenomena ini tidak luput dari sorotan akademisi, termasuk dari pakar gizi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Lailatul Muniroh, dosen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair, menyatakan keprihatinannya atas tren tersebut. Menurutnya, penggantian MBG dengan snack adalah langkah berisiko tinggi yang berpotensi merugikan kesehatan anak-anak, terutama dalam jangka panjang.
“Makanan bergizi seharusnya mampu memenuhi kebutuhan zat gizi makro dan mikro sesuai usia dan kondisi anak. Snack itu bukan pengganti, tapi selingan, dan itupun porsinya sangat terbatas,” ujarnya dalam wawancara dengan media ini pada Kamis (26/6/2025) lalu.
Lailatul menegaskan bahwa idealnya snack hanya menyumbang sekitar 10% dari total kalori harian. Dalam beberapa kondisi khusus seperti pada lansia, pasien pasca-operasi, atau anak sakit yang kesulitan makan, snack padat gizi bisa diberikan sebagai solusi sementara. Tapi, untuk menggantikan makanan utama secara reguler? Itu berbahaya, tegasnya.
“Snack tinggi gula dan garam memang memberi rasa kenyang cepat, tapi tidak tahan lama. Anak-anak bisa kekurangan zat gizi penting, mengalami ‘kelaparan tersembunyi’ (hidden hunger), hingga mengalami penurunan konsentrasi dan daya tahan tubuh,” jelasnya.
Lebih jauh, Lailatul mengingatkan dampak jangka panjang dari konsumsi snack sebagai pengganti MBG seperti gizi kurang, anemia, gangguan perkembangan otak, hingga meningkatnya risiko penyakit tidak menular seperti diabetes dan hipertensi di usia muda.
Ia tidak menafikan bahwa snack memiliki nilai kepraktisan dalam distribusi. Namun, kepraktisan tidak boleh mengorbankan kualitas gizi. Oleh karena itu, Lailatul mendorong pemerintah dan penyelenggara program untuk berinovasi pada “snack padat gizi” (nutrient-dense snacks) yang mengandung protein, lemak sehat, vitamin, dan mineral penting.
“Snack bukan berarti harus keripik asin atau biskuit manis. Kita bisa olah pangan lokal menjadi snack bergizi, seperti olahan kacang hijau, kedelai, ubi, atau pisang. Tapi sekali lagi, ini hanya solusi darurat, bukan pengganti permanen makanan utama,” tegasnya.

Sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap tumbuh kembang generasi penerus, Lailatul menyerukan beberapa langkah strategis sebagai berikut:
a. Penetapan standar gizi nasional dalam program MBG.
b. Integrasi data stunting dan malnutrisi sebagai basis intervensi.
c. Alokasi dana khusus untuk pengadaan pangan lokal bergizi tinggi.
d. Keterlibatan aktif tenaga ahli gizi di semua level pelaksanaan program.
e. Monitoring dan evaluasi berkelanjutan, lengkap dengan tindak lanjut.
Menurutnya, jika penggantian MBG dengan snack rendah gizi terus dibiarkan, dampaknya akan sangat mahal untuk bangsa ini.
“Negara akan menanggung beban besar: rendahnya potensi intelektual generasi muda, meningkatnya penyakit kronis, hingga rendahnya daya saing global. Kita tidak sedang bicara soal anggaran, tapi masa depan,” pungkasnya dengan nada tegas.
Di akhir wawancara, Lailatul mengingatkan bahwa makanan bergizi adalah hak dasar anak-anak Indonesia, bukan sebuah pilihan yang bisa dikompromikan dengan alasan praktis atau efisiensi anggaran.
“Jika kita sungguh ingin membentuk generasi unggul Indonesia Emas 2045, maka negara harus hadir. Hadir dengan menyediakan makanan bergizi, aman, dan terjangkau, bukan sekadar snack,” pungkasnya.
Di tengah upaya besar mengatasi stunting dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, memastikan keberlangsungan program MBG secara utuh dan bergizi seimbang adalah investasi masa depan. Sebab kesehatan dan kecerdasan anak-anak kita hari ini, adalah wajah Indonesia esok hari.(*)
Editor: Tommy dan Abdel Rafi