
Bayangkan sebuah dome raksasa di Jeddah, Superdome yang mewah, kilap seperti cermin emas, dengan kubah setinggi angan-angan seorang jutawan. Kubah pemegang Guinness Record dengan panjang 210 meter tanpa tiang ini bukan sekadar tempat pemeran, tapi juga bisa jadi markas strategi operasional ibadah haji.
Di sana, belum lama ini, berkumpul para menteri haji dari seluruh dunia, termasuk Gus Irfan (Mochamad Irfan Yusuf), Menteri Haji dan Umrah dari Indonesia. Ia tampak tenang tapi waspada, seperti kiai yang sedang memeriksa santri-santrinya yang sedang berlatih manasik haji.
Jamuan tersaji dengan aroma roti khubz hangat, kurma manis menggoda, dan hidangan khas Saudi yang membuat perut ikut berdzikir. Usai riuh suara gelas, sendok, dan tawa diplomatik, mereka menandatangani kontrak pengelolaan haji dengan para pemilik syarikah.
Syarikah, dalam konteks haji, adalah perusahaan penyedia layanan, semacam EO super yang menangani semua kebutuhan jemaah dari mulai A sampai Z. Mulai dari transportasi Makkah-Arafah, logistik tenda, katering di padang Arafah dan Mina, pengaturan kasur, hingga perjalanan pulang pergi Makkah-Madinah.
Sejak musim haji tahun lalu, pemerintah Saudi mengubah sistem pengelolaan haji yang sudah puluhan tahun berjalan. Tidak ada lagi konsep yayasan setengah bisnis seperti dulu. Kini semuanya jelas berbentuk perusahaan, agar setiap tanggung jawab dapat dipantau, diatur, dan dievaluasi dengan sistematis.
Tahun ini Indonesia hanya memilih dua syarikah, untuk jadi jembatan antara ribuan jemaah Indonesia dan puluhan titik lokasi ibadah. Sebuah langkah dramatis yang bisa bikin mata berkelap-kelip, “Hanya dua? Dari sebelumnya delapan?” gumam hati setiap pengamat.
Bayangkan, dengan delapan syarikah saja, pengelolaan haji tahun lalu kacau-balau. Kok kini hanya dua? Jawaban birokrat: Ibarat orkestra dengan konduktor, kali ini dua syarikah cukup untuk meminimalkan cacat nada. Tapi apa benar lebih rapi? Ah, logika birokrasi selalu punya trik dramatisnya sendiri.
Koordinasi tahun ini dibuat lebih sederhana: timur-barat, utara-selatan. Maksudnya? Titik-titik poin ibadah di Mekkah dan Madinah kini dibagi jelas di antara kedua syarikah, bukan lagi sekadar lempar dadu semau gue. Syarikah menyiapkan segalanya di luar urusan yang disediakan hotel.
Strategi operasional berbasis syarikah ini seperti orkestrasi simfoni dimana setiap kloter jemaah baik dari Jakarta, Medan, Surabaya, ataupun Makassar dibagi kepada dua syarikah yang ditunjuk hasil tender bersih dari 66 calon. Rakeen Mashariq Al Mutamayizah Company For Pilgrim Service menangani satu sisi, Albait Guest sisi lainnya.
Penentuan ini bukan semata-mata soal untung-rugi perusahaan, tapi soal koordinasi titik poin ibadah yaitu Makkah, Madinah, Arafah, Mina, dan Jamarat. Syarikah bertanggung jawab memastikan setiap jamaah tiba tepat waktu, tertib di tenda, mendapatkan kasur layak, makanan teratur, hingga transportasi lancar.
Dengan sistem dua syarikah, pembagian tugas kini lebih sederhana dan efisien. Berbeda dengan delapan syarikah tahun lalu yang membuat koordinasi seperti memainkan rubik raksasa dengan mata tertutup. Kedua syarikah ikut proses seleksi ketat memastikan mereka yang “terbaik” menangani jemaah Indonesia.
Di sela-sela prosesi penandatanganan MoU, Gus Irfan tampak seperti pengatur strategi catur dimana satu mata menatap dokumen, satu mata menimbang lobi dan amplop yang nyaris disodorkan para calon kontraktor nakal. Ia menolak semua “bonus” terselubung, yang mungkin jadi kebiasaan saat haji diurus Kementerian Agama.
Ia meminta, kalau masih ada untung lebih pada syarikah, uang itu sebaiknya dikeluarkan untuk meningkatkan kualitas layanan. Maka jadilah kasur di padang Arafah kini lebih lebar, dan biaya per jamaah turun sedikit yang menjadi hasil hitungan yang bikin kantong negara lebih lega tanpa meredupkan ibadah para jamaah.
Tapi di balik semua formalitas itu, terselip ironi bahwa delapan syarikah dulu kacau, dua syarikah sekarang lebih sederhana tapi risiko baru selalu menunggu. Koordinasi menjadi lebih mudah, tapi tanggung jawab kini lebih berat. Setiap kesalahan mesti terpantau jelas, tak ada lagi yang bisa sembunyi.
Saya pikir, kadang menyederhanakan jumlah syarikah bukan sekadar soal efisiensi, tapi tentang keberanian menghadapi kekacauan yang nyata. Dari delapan menjadi dua, dari ribuan masalah menjadi satu fokus.
Tapi jangan lupa, ibadah haji itu bukan sekadar ritual jutaan langkah; ia adalah dunia paralel di mana satu detil bisa menggagalkan seribu rencana.
Di detail itulah setan biasanya nongkrong bukan di tenda Arafah atau jalur Mina, tapi di catatan kecil yang terlewat, di koordinasi yang dipikir “nanti saja”, di kursi meeting yang terlalu empuk hingga orang lupa bahwa jamaah di lapangan duduk di kasur satu meter.
Pengalaman tahun lalu sudah cukup menjadi alarm bahwa semakin besar sistem, semakin lupa pada detil-detil kecil yang seolah biasa-biasa, dan semakin mungil kelengahan yang bisa membuat semuanya runtuh.
Maka jika dua syarikah ini benar-benar bisa menata ribuan jamaah seperti mengatur satu rombongan karavan tunggal, tanpa drama, tanpa lempar tanggung jawab yang itu artinya ada harapan pelaksanaan haji bisa lebih baik.
Bahwa pengelolaan haji bukan ditentukan oleh jumlah syarikah, tapi oleh kedisiplinan membaca detil, keberanian menolak amplop, dan ketegasan menolak budaya “nanti dulu”.
Dan mungkin, justru di titik inilah kita menemukan hikmah: bahwa kesalahan besar sering lahir dari hal kecil yang diremehkan, dan ketertiban besar justru muncul dari langkah sederhana yang dijaga sungguh-sungguh.
AHMADIE THAHA (Cak AT)
Wartawan Senior dan Pengasuh Ma’had Tadabbur Al-Quran



