Tuesday, February 11, 2025
spot_img
HomeGagasanResisten Antibotik dan Peluang Terjadinya Big Pandemic

Resisten Antibotik dan Peluang Terjadinya Big Pandemic

Pada puncak acara Pekan Kesadaran Resistensi Anti-mikroba (AMR) se-dunia 2024 di Jakarta (8/12/2024) pekan lalu, Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin menyinggung adanya fenomena resisten antibiotik dan dampaknya yang mulai merenggut nyawa manusia.

Apa yang disinggung oleh Menkes tersebut senada dengan adanya kekhawatiran dari Menurut badan kesehatan dunia, World Health Organization (WHO), diperkirakan pada tahun 2050 mendatang, fenomena resisten antibiotik dapat menyebabkan kematian sekitar 10 juta manusia. Artinya, prediksi angka tersebut jika benar terjadi akan melampaui korban akibat pandemi Covid-19 yang mencapai 6,9 juta jiwa menurut data WHO. Indonesia sendiri menjadi negara dengan korban terbesar kedua di Asia untuk Covid-19 lalu itu.

Menurut data Institute for Health Metric and Evaluation (IHME), tercatat kematian akibat fenomena resisten antibiotik mencapai 34.500 kasus pada tahun 2019 saja. Hingga saat ini, menurut WHO, AMR secara langsung bertanggung jawab atas kematian 1,3 juta manusia per tahun secara global.

Fenomena penggunaan antibiotik yang tidak tepat dan berlebihan, memang berpotensi memunculkan mutasi pada bakteri yang menyebabkan resisten terhadap antibiotik. Ini dikenal sebagai kasus Anti-Microbial Resistance (AMR). Tidak hanya antibiotik yang menyebabkan AMR, anti-virus maupun anti-mikroba lainnya pun demikian dan menjadi cikal bakal munculnya jenis bakteri, virus atau mikroba baru. AMR terjadi ketika mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, dan parasit) tidak lagi merespons antimikroba, sehingga pengobatan spesifik ini tidak efektif. Selanjutnya, hal ini mempersempit pilihan pengobatan klinis dan meningkatkan risiko komplikasi, rawat inap, dan angka kematian. Pada akhirnya, infeksi menjadi lebih sulit diobati. Kekhawatiran terhadap AMR bukanlah hal baru karena kasus telah ditemukan, namun pandemi AMR ini semakin dikhawatirkan ketika pandemi Covid-19 muncul menjadi beban global dan menimbulkan pertanyaan mengenai kesiapan untuk memerangi peningkatan kasus AMR.

Kasus-kasus resistensi obat sudah dialami misal pada kasus Tuberkulosis muncul MDR (Multi Drug Resistance). TB MDR ini jenis tuberkulosis yang kebal terhadap 2 obat antituberkulosis paling kuat, isoniazid dan rifampisin. Pada 2018, Kementerian Kesehatan RI dan WHO memperkirakan terdapat sekitar 23.000 penderita TB MDR di Indonesia. Kasus HIV pun demikian ditemukan resisten terhadap obat. Pemicu dari munculnya resisten obat ini terkait beberapa faktor, penderita yang tidak menyelesaikan pengobatan hingga tuntas dan dialami oleh penderita yang diharusnya minum obat cukup lama misalkan TB minimal 6 bulan dan HIV minum Anti-Retro Viral (ARV) seumur hidup maupun kasus penyakit infeksi lainnya misalkan pneumonia, influenza dan lainnya. Selain itu juga ada faktor lain misalkan salah obat, jenis, dosis dan lama pengobatan. Kondisi resisten obat ini akan ditemukan ketika seseorang mengalami gagal pengobatan atau tidak kunjung sembuh.

Di luar kondisi tersebut, kasus resisten obat juga dialami oleh hewan ternak yang diberi antibiotik. Antibiotik seringkali dianggap ‘obat dewa’ karena ampuh menyembuhkan banyak penyakit. Tak cuma buat manusia tapi juga untuk hewan ternak. Setiap makhluk hidup bisa sakit, termasuk hewan ternak. Ketika sakit, pemberian obat termasuk antibiotik akan diberikan pada hewan ternak. Bahkan penggunaan antibiotik kerap diberikan pada hewan sehat untuk memberikan proteksi agar tidak terkena penyakit. Antibiotic Growth Promoter (AGP) atau antibiotik imbuhan pakan, artinya antibiotik diberikan untuk mengeliminir bakteri merugikan saluran pencernaan agar mendapatkan bobot badan serta rasio konversi pakan yang lebih baik.

Sejalan dengan kebijakan WHO untuk mengurangi penggunaan berlebih antibiotik pada peternakan dan perikanan, menyebutkan bahwa melarang penggunaan pakan yang dicampur hormon tertentu dan/atau antibiotik imbuhan pakan. Walaupun undang-undangnya sudah ada, namun hingga tahun ini antibiotik imbuhan pakan belum sepenuhnya dapat dieliminasi. Hal ini dikarenakan jika langsung dihilangkan begitu saja, maka industri perunggasan dapat mengalami krisis.

Urgensi Pendekatan One-Health

Penyebaran AMR ini dianggap sebagai masalah one-health, pendekatan yang memperhatikan keterkaitan kesehatan manusia, kesehatan hewan dan lingkungan. Dengan adanya sumber AMR di manusia dan hewan, maka lingkungan sekitar dapat juga tercemari dari hasil buangan manusia atau hewan di tanah, udara dan air. Ini yang akan menjadikan siklus persebaran dari AMR. Berkaca dari pandemi Covid-19 di akhir 2019, pandemi flu, polio dan sebagainya. Tentu kesehatan manusia, hewan dan lingkungan menjadi perhatian yang disinergikan dalam memonitoring potensi pandemi ke depannya.

Munculnya jenis mikroba patogen baru penyebab penyakit di dunia ini suatu keniscayaan dan tidak dapat terhindarkan. Kapan, dimana, dan bagaimana dampak kemunculan dari patogen baru ini yang sulit untuk diprediksi. Kewaspadaan dan mitigasi wabah non alam yang berasal dari mikroba patogen ini penting untuk disiapkan sehingga tidak memakan korban banyak. Belajar dari pandemi Covid-19, masyarakat harus lebih melek dengan ancaman makhluk halus ini supaya lebih siap dan cepat merespon ketika berpotensi menyebabkan wabah. Patogen baru muncul sebagai bentuk adaptasi agar bisa survive di dunia. Salah satunya pemicu terbesar kemunculan patogen baru ini adalah penggunaan antimikroba termasuk di dalamnya antibiotik.

Overuse dan Misuse

Ibarat pisau bermata dua, tujuan antibiotik bisa menghilangkan infeksi bakteri dengan catatan digunakan sesuai prosedurnya. Tapi di sisi lain, antibiotik ini bisa menimbulkan resistensi obat jika overuse atau misuse. Awal kemunculan resistensi obat dikarenakan mengganggap antibiotik tidak hanya untuk mengobati tetapi untuk mencegah infeksi sehingga penggunaan antibiotik menjadi overuse. Kebiasaan masyarakat yang memakai antibiotik sebagai pencegahan (overuse) terkadang diikuti dengan kebiasaan mengonsumsi antibiotik diluar takaran yang semestinya. Dan saat itu, protokol kesehatan (prokes) ditinggalkan sebagai bentuk pencegahan infeksi dan manusia lebih memilih mengonsumsi antibiotik sebagai bentuk pencegahan hingga akhirnya tidak pada tempatnya (misuse).

Bahkan saat pandemi Covid-19 lalu, vaksin dianggap cara ampuh pencegahan infeksi dan prokes mulai ditinggalkan manusia dan nyatanya tidak menjadi terhindar dari penyakit dimaksud. Karena itu, kesadaran masyarakat sangat penting untuk menggunakan antibiotik secara bijak, kapan dan bagaimana mengonsumsinya sehingga tidak terjadi oversuse maupun misuse.

Saat ini, Indonesia menghadapi Epidemi HIV dan target global untuk mengakhiri pada 2030 dan ancaman resistensi obat akan menjadi penghambat. Upaya penanggulangan penyakit dengan antimikroba harus selaras dengan upaya pencegahan yang strategis agar pengendalian dapat maksimal tercapai sehingga peluang terjadinya pandemi besar (big pandemic) karena antibiotik di masa mendatang dapat diantisipasi sedini mungkin sehingga mampu meminimalisir korban bahkan menghindarinya. Semoga.

 

LAURA NAVIKA YAMANI, Ph.D

Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair

Ketua Research Center on Global Emerging and Re-emerging Infectious Disease LPT Unair

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular