Rakyat kecewa, marah dan seperti teraduk-aduk perasaannya. Kepada siapa? Tentu kepada penguasa. Mereka sedang melawan! Sinyal itu terasa sekali. Baca medsos, kita akan temukan variasi kata dan kalimat yang menunjukkan perlawanan itu.
Tentu, perlawanan yang legal. Ini menunjukkan bahwa bangsa ini sudah dewasa dan matang dalam berdemokrasi. Tetap saja jalur yang digunakan adalah pemilu. Punya legal standing, karena diatur dalam undang-undang.
Kendati kawan mereka ada yang jadi korban. Kok korban? Itu bahasa yang selalu mereka gunakan sebagai inspirasi dan motivasi perjuangan. Sebut saja Ahmad Dhani, Selamet Ma’arif, bahkan Habib Rizieq. Tersangka! Ada yang sudah dipenjara. Risiko perjuangan, kata mereka. HAMKA dulu juga dipenjara ketika berseberangan dengan penguasa. Beda! Ya, beda kasusnya, tapi sepertinya punya semangat yang sama.
Pilpres, itulah satu-satunya prosedur suksesi. Cara mengganti seorang pemimpin. Melalui pilpres ini rakyat yang kecewa all out untuk mengalahkan petahana. Prabowo-Sandi satu-satunya pasangan calon yang dijadikan icon untuk menumbangkan petahana.
Dimanapun Prabowo dan Sandi buat acara, pecah massa. Membludak. Seperti ada heroisme yang sedang berkobar. Terakhir di Pamekasan Madura, tumpah ruah massa yang hadir dari seluruh penjuru kota garam ini. Ada yang memprediksi, di Madura suara Prabowo-Sandi bisa meraih 80%. Masuk akal juga.
Ingat Madura, ingat La Nyalla. Lelaki ini sesumbar siap dipotong lehernya jika Prabowo-Sandi menang di Madura. Nantangin! Sejumlah jawara Madura sudah ngasah golok. Siap-siap. Namanya juga ditantangin. Orang Madura lagi yang ditantang, ya ngasah celurit. Kabarnya, sesumbar itu sudah dicabut. Ini lebih baik, supaya pilpres tetap beradab. Tak dikotori oleh sesumbar yang tak perlu.
Kita saksikan entah berapa ratus ribu, atau mungkin jutaan jumlah warga Madura yang hadir di acara Prabowo kemarin dan di Jogja hari ini? Begitu juga sebelumnya di Purbalingga, di Semarang, di Medan dan di beberapa wilayah lainnya. Sampai-sampai ada perempuan kecil bernama Gendis, nabung dan ngumpulin uang sakunya untuk bantu logistik perjuangan Prabowo. Itu heroisme? Sepertinya bukan. Mereka datang tidak semata-mata karena Prabowo, juga Sandi. Mereka hadir sebagai bentuk perlawanan kepada penguasa yang dianggap “berbahaya” jika memimpin lagi. Bahaya untuk siapa? Untuk kedaulatan negara dan umat Islam, begitu yang ada di otak mereka.
Melihat tumpah ruahnya massa, saya suka meneteskan air mata. Cengeng! Iya. Saya membayangkan betapa rakyat sadar dan peduli atas bangsanya. Mereka rela datang dari berbagai pelosok daerah dengan biaya masing-masing karena kesadaran atas bangsa ini. Bukan karena Prabowo atau Sandi, tapi karena ingin Indonesia berubah. Mereka ingin perubahan terjadi di negeri ini. Itu kesadaran terdalam dan paling substansial dari mereka.
Rasa haru saya bercampur kekhawatiran. Khawatir jika sampai pemilu curang, apa yang akan terjadi. Revolusi bisa pecah, meski tak satupun anak bangsa ini yang menginginkannya. Kecuali sedikit orang yang jiwa kenegarawanannya terbakar karena ambisi kekuasaan dan keserakahan. Harus dicegah! Rakyat tak ingin revolusi. Camkan itu! Tapi, siapa yang menjamin jika pilpres curang tidak menjadi trigger kemarahan massa? Tak ada yang jamin dalam situasi seperti sekarang.
Aparatur negara yang tak lagi netral, operasi sembako yang masif, mandulnya Bawaslu, semakin minimnya kepercayaan rakyat kepada KPU, KTP ganda, membludaknya TKA Tiongkok yang ditemukan ber-KTP adalah bagian dari pemicu kemarahan rakyat yang masih tertahan. Jika dalam pilpres masih ditemukan kecurangan, khawatir kesabaran rakyat tak lagi dapat dikendalikan.
Itulah yang membuat air mata saya tumpah diantara haru dan kekhawatiran. Harap-harap cemas. Berharap pemilu berjalan dengan lancar, aman dan sukses. Kendati tetap menyimpan kecemasan. Mungkin bahasa ini yang relatif tepat mewakili perasaan banyak orang di negeri ini.
Beberapa minggu lalu terjadi pembakaran puluhan mobil di Semarang dan Kendal Jawa Tengah. Juga sejumlah motor. Jelas-jelas dibakar. Kalau dibakar, berarti ada yang membakar. Siapa? Hingga hari ini tak ada satupun yang jadi tersangka. Diduga para pembakar adalah orang-orang terlatih dan profesional. Kelompok yang dikhawatirkan punya agenda di luar pilpres, atau malah ingin menggagalkan pilpres. Waspada!
Beberapa hari ini orang gila muncul lagi di Jawa Barat. Modusnya? Mengejar, melukai dan membunuh ulama. Mushalla, -bisa jadi nanti juga pesantren- jadi obyek sasaran. Mirip operasi pasca Pilgub DKI dan jelang Pilgub Jabar. Apakah ada hubungannya dengan gejolak di Semarang dan Kendal Jawa Tengah? Entahlah! Yang terpenting bagi rakyat adalah waspada, sabar dan tidak terprovokasi. Hingga hari ini, rakyat cukup dewasa dalam menghadapi setiap masalah dan menjaga ketahanan demokrasi.
Waspada! Seperti ada yang ingin berselancar di atas gelombang demokrasi. Lagi-lagi, rakyat telah teruji. Mereka tak mudah terprovokasi. Yang mereka mau hanya satu: pilpres aman, jujur dan adil. Titik! Siapapun yang akan jadi presiden, yang terpenting pertama, harus melalui proses demokrasi yang benar. Ukurannya? Jujur dan adil. No intimidasi. No kecurangan. No money politic. Kedua, bisa membawa perubahan bagi bangsa ini. Hukum makin adil, ekonomi membaik dan kedaulatan bangsa terjaga. Tiga hal penting yang menjadi harapan “paling urgent” dari rakyat.
Kalau syarat di atas terpenuhi, dijamin tak lagi ada kekecewaan, kemarahan, apalagi perlawanan dari rakyat. Perlawanan rakyat berhenti. Tapi, jika pilpres curang, tak satupun tahu apa yang akan terjadi.
JAKARTA, 27 Februari 2019
Dr. TONY ROSYID
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa