
Surabaya, – “Jika pembayaran dengan QRIS ternyata juga terkena dampak PPN 12%, ya masyarakat akan kembali ke metode pembayaran tunai. Ngapain pilih QRIS kalau memang nanti kena PPN 12%? Perilaku masyarakat pembeli kan selalu rasional dan akan selalu menyesuaikan,” ujar pakar ekonomi senior Universitas Airlangga (Unair) Rahmat Setiawan, Jumat (27/12/2024) saat ditanya mengenai dampak kebijakan PPN 12% terhadap perilaku pembayaran masyarakat yang memakai metode Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).
Menurut guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis itu, pemberlakuan PPN 12% pada metode pembayaran QRIS amat sangat disayangkan. “Karena justru berseberangan dengan kampanye pemerintah bersama Bank Indonesia yang ingin meningkatkan jumlah transaksi non-tunai,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, menurut Rahmat Setiawan, kebijakan pemerintah untuk memberikan kemudahan bertransaksi dan mengurangi tindak pencucian uang juga dapat terhambat dengan adanya kebijakan kenaikan PPN 12% tersebut.
“Kita diarahkan pemerintah untuk menggunakan transaksi non-tunai untuk kemudahan bertransaksi sehingga nanti konsumsi meningkat dan pertumbuhan ekonomi juga meningkat lah kok malah kena PPN 12%. Apalagi keinginan pemerintah untuk mengurangi tindakan pencucian uang hasil korupsi akan mengalami kesulitan karena transaksi tunai akan kesulitan dalam pembuktian tapi kalau non-tunai pasti ter-record,” papar Rahmat Setiawan.

Selain itu, menurut Rahmat kebijakan kenaikan PPN 12% ini dapat meningkatkan jumlah pengangguran. Karena jika PPN naik, otomatis beban hidup masyarakat secara umum akan naik. Dampaknya, lanjut Rahmat, daya beli masyarakat akan menurun, sehingga konsumsi juga akan turun.
“Akhirnya, terjadi penurunan produksi karena barang-barang yang diproduksi tidak ada yang konsumsi, sehingga nanti jumlah pengangguran akan meningkat,” ujarnya.
Karena itu, Rahmat berharap pemerintah membatalkan atau menunda kenaikan PPN 12% tersebut dan pemerintah bisa melakukan hal tersebut tanpa perlu mengubah Undang-Undang.
“Kalau merujuk UU HPP Pasal 7 ayat 3, pemerintah itu bisa menurunkan sampai minimal 5% dan menaikkan maksimal 15%. Jadi masih ada ruang tanpa harus mengubah Undang-Undang,” pungkas Rahmat.
(pkip/rafel/tommy)