Thursday, July 10, 2025
spot_img
HomeGagasanKolomPudarnya Spirit Kenabian Ormas Keagamaan

Pudarnya Spirit Kenabian Ormas Keagamaan

Organisasi masyarakat sipil, termasuk ormas keagamaan, sejatinya hadir sebagai benteng moral dan penyuara nurani publik dalam dinamika kekuasaan. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, kita menyaksikan fenomena yang layak direnungkan bersama: kian meredupnya spirit kenabian dalam kiprah ormas keagamaan, khususnya ormas Islam.

Spirit kenabian ini sejatinya merujuk pada keberanian menyuarakan kebenaran dan menyampaikan kritik konstruktif terhadap kebijakan negara yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Sayangnya, terdapat kecenderungan sebagian besar ormas keagamaan justru lebih memilih menjadi penyokong kebijakan pemerintah, meskipun sebagian di antaranya mengabaikan prinsip keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan kelangsungan hidup komunitas lokal.

Salah satu isu yang patut menjadi perhatian adalah kebijakan eksplorasi tambang nikel di Raja Ampat. Kebijakan ini berpotensi menimbulkan dampak ekologis yang luas: rusaknya ekosistem laut, terganggunya tatanan budaya, serta terancamnya keberlangsungan hidup masyarakat adat yang selama ini hidup selaras dengan alam. Yang mencemaskan, suara dari ormas keagamaan terkait isu ini masih terdengar lirih. Padahal, sejarah eksploitasi sumber daya alam di berbagai wilayah seperti Wadas, Kendeng, Rempang, Halmahera, hingga proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), telah menyisakan luka sosial yang mendalam dan berulang.

Dalam khazanah Islam, kita diingatkan lewat Surah Ar-Rum ayat 41:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Ayat ini merupakan pengingat spiritual yang kuat bahwa setiap kerusakan lingkungan memiliki konsekuensi nyata, dan menjadi tanggung jawab moral umat manusia untuk mencegahnya. Namun, pesan fundamental ini belum secara tegas digaungkan oleh ormas keagamaan di ruang publik maupun ruang-ruang pengambilan kebijakan.

Kondisi ini menuntut perenungan sekaligus sikap yang tegas dari para tokoh dan institusi keagamaan. Mereka memikul amanah besar sebagai penerus misi kenabian, untuk berpihak pada mereka yang terpinggirkan, dan bersuara bagi mereka yang tak lagi memiliki ruang menyampaikan penderitaannya.

Sudah saatnya narasi lama seperti “tokoh agama sedang berdialog dan menasihati dengan cara yang lembut ditinjau ulang. Ketika ketimpangan dan kerusakan telah mencapai titik kritis, diperlukan suara yang lebih lantang, tindakan yang lebih nyata. Jika tidak, kita berisiko mewariskan negeri ini dalam keadaan terpuruk: lingkungan rusak, sumber daya terkuras, dan rakyat menjadi penonton di tanahnya sendiri.

Bila para tokoh agama memilih untuk tetap diam atau ragu mengambil posisi yang tegas, maka beban moral dan tanggung jawab historis akan menjadi catatan kelam yang diwariskan kepada generasi mendatang. Spirit kenabian yang berpijak pada nilai-nilai keadilan, keberpihakan kepada yang lemah, dan pelestarian alam mesti kembali dinyalakan.

Ormas keagamaan memiliki peran strategis untuk menjadi suara kebenaran, mendorong akuntabilitas, dan mendesak evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan yang mengancam kelestarian lingkungan serta kesejahteraan rakyat. Kini adalah saat yang tepat untuk bertindak, demi generasi yang akan datang dan bumi yang menjadi tempat tinggal bersama.

 

Dr. BAHRUL FUAD, M.A
Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular