Eks Karisidenan Banyumas yang menaungi 4 Kabupaten (Banyumas, Purbalingga, Cilacap dan Banjarnegara) dahulu dikenal sebagai salah satu lumbung pangan Jawa Tengah. Basis masyarakatnya adalah petani. Geo sosial politik di Banyumas juga masih mencerminkan semangat masyarakat agraris. Banyumas juga dikenal dengan basis Partai Politik (Parpol) yang mengaku (dalam retorika para politisinya) concern di bidang pertanian.
Selain itu di Banyumas, dengan Kota Purwokerto sebagai ‘satelitnya’ juga tumbuh subur gerakan mahasiswa, pemuda, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang aktif mengadvokasi petani. Wacana land reform yang mengadopsi Partai Komunis Indonesia (PKI) masih kental di kalangan gerakan massa rakyat Banyumas tersebut. Mungkin tidak mirip karena ada pembaharuan sesuai konteks jaman tentunya, tapi muaranya masih identik: menganggap problem petani yang utama adalah soal kepemilikan tanah.
Seiring perkembangan jaman dan tentunya kebijakan politik nasional (pemerintah pusat) yang kian lebar membuka keran liberalisasi ekonomi, Banyumas pun mulai bergeser menjadi kota industri. Banyumas sangat ramah investor (baik PMDN maupun PMA). Wal hasil banyak berdiri pabrik-pabrik manufaktur. Di sisi lain membuka lapangan kerja tapi di sisi lain menggusur lahan pertanian, ruang-ruang publik dan tentu saja menggeser budaya (budaya petani menjadi buruh).
Dari tahun ke tahun jumlah lahan pertanian kian menurun, dan tentu saja jumlah petani juga menurun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis dari RRI Online misalnya di Purbalingga pada tahun 2013, penurunan jumlah petani cukup signifikan. Berdasarkan hasil pencacahan pada sensus 2013 lalu, jumlah ruta usaha pertanian di Kabupaten Purbalingga sebanyak 125.4314, dari hasil tersebut mengalami penurunan sebanyak 36. 264 ruta, dari 161. 578 ruta pada tahun 2003, sehingga turun 2,24% per tahun.
Hal sebaliknya pada peningkatan jumlah buruh di Purbalingga yang terus meningkat. Dari data di Dinsosnakertran, di Purbalingga terdapat 44 ribu karyawan yang bekerja di 200 perusahaan besar dan kecil, baik PMA maupun PMDN.
Dalam skala nasional BPS melansir jumlah petani yang terus menurun dari tahun ke tahun. Rumah tangga yang menanam padi tahun 2003 sejumlah 14,2 juta rumah tangga, sementara 2013 turun menjadi 14,1 juta. Usaha tanaman kedelai menurun tahun 2003 ada satu juta, pada tahun 2013 hanya 700 ribu. Untuk usaha tanaman jagung juga terjadi penurunan dari tahun 2003 6,4 juta, pada tahun 2013 menjadi 5,1 juta.
Bagaimana hasil sensus pertanian tahun 2015 di kabupaten-kabupaten eks Karisidenan Banyumas? kita tunggu, tapi diprediksi jumlah petani terus menurun.
Apakah Investor itu yang salah? tentu tidak bisa men-judge demikian. Liberalisasi ekonomi meniscayakan kebebasan pemodal berinvestasi. Kalau pemerintah pusat sudah welcome investor asing, apa daya Pemda bukan? Lagi pula keberadaan industri didukung karena manfaatnya dirasakan masyarakat.
Memang, klaim Pemerintah Kabupaten (Pemkab) di Wilayah Banyumas, masing-masing menyatakan masih swasembada. Pertanian masih dianggap maju. Tapi tentu ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana mungkin alih fungsi lahan pertanian produktif dan pengurangan profesi petani besar-besaran menjadi parameter kemajuan pertanian?Pertanyaan selanjutnya: Kenapa ketika semakin banyak petani yang diadvokasi malah sektor pertanian menurun? Adakah yang salah dari gerakan advokasi petani dan gerakan land reform ala PKI? Pertanyaan yang lebih jelas lagi: Bagaimana caranya Indonesia daulat pangan seperti yang dimimpikan Presiden Joko Widodo?
Apakah ini juga akhir dari sejarah Tlatah Banyumas sebagai lumbung pangan Jawa Tengah? Entahlah. Allahualam.
SEPTA
Economics Watch Yogyakarta
Pegiat Isu-Isu Pertanian