Friday, March 29, 2024
HomeGagasanPendidikan Anak Masa Covid-19: Dilema New Normal

Pendidikan Anak Masa Covid-19: Dilema New Normal

 

Dalam situasi wabah pandemi Covid-19 ini, rasa-rasanya setiap orang punya dilema besarnya masing-masing. Tak terkecuali saya. Tahun ini sebenarnya saya berencana untuk memasukkan anak saya ke playgroup. Keputusan ini saya nilai cukup urjen untuk mempercepat kemampuan bicara anak saya yang tahun ini berusia tiga tahun.

Berada dalam keluarga kecil yang merantau dan berpindah-pindah, anak saya hanya mendapatkan interaksi sosial dalam lingkungan yang sangat kecil, bisa dibilang kurang dari yang dibutuhkan dalam masa perkembangannya. Maka dari itu memasukkan anak ke taman bermain adalah sebuah pilihan jitu.

Namun itu sebelum Covid-19 menyerang.

Awal April lalu, sepucuk SK turun dan kami harus pindah dari Kalimantan ke Bali. Sebuah kepindahan yang mendebarkan, karena selain ketakutan tertular covid, juga karena dugaan kami bahwa jalur transportasi akan segera ditutup yang tentu menghambat pekerjaan (dan mengancam pendapatan, tentunya).

Bagi anak saya, kepindahan ini berarti lingkungan sosial yang sama sekali baru. Pada situasi normal, beradaptasi dengan lingkungan sosial baru bukanlah sebuah masalah. Masalahnya, pada masa pembatasan sosial ini mayoritas orang tua merasakan was-was. Membiarkan anak-anak bebas bermain di luar rumah bisa membahayakan, tidak hanya si anak namun juga semua anggota keluarga. Artinya, interaksi sosial yang dibutuhkan pertumbuhan anak saya semakin terbatas pilihannya.

Krisis selalu berdampak besar pada kaum yang lebih lemah. Anak-anak adalah salah satu dari kaum rentan ini. Setidaknya hingga 3 Juni kemarin, 129 anak berstatus PDP meninggal dunia, 584 positif Covid-19 dan 14 diantaranya meninggal dunia. Orang tua pantas dan wajib untuk khawatir dengan kesehatan anak-anaknya. Tapi bagaimana dengan pertumbuhan mereka? Bagaimana dengan pendidikan anak-anak kita?

Belum lama wacana mengenai kelaziman baru atau new normal bergaung, kemudian disusul wacana dibukanya tahun ajaran baru pada Juli 2020. Belakangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim sendiri menegaskan dimulainya tahun ajaran baru tidak serta merta berarti sekolah dibuka. Cukup mudah membayangkan siswa SD hingga SMA di kota menempuh pendidikan secara daring. Tapi agaknya kita lupa mempertanyakan kesenjangan pendidikan yang sebelumnya memang sudah terjadi. Bagaimana dengan mereka yang tidak punya cukup dana untuk berlangganan internet? Bagaimana dengan yang daerahnya masih sulit jaringan internet? Bagaimana kualitas pendidikan bisa tetap terjaga dalam pengajaran daring? Dan khusus bagi saya, pertanyaannya adalah bagaimana dengan kebutuhan anak-anak usia pra-sekolah dan taman kanak-kanak?

Bagi kita, kaum kelas menengah yang akrab dengan internet dan media sosial, seringkali kita dapati fitur IGstory pada platform media sosial instagram menayangkan aktivitas saudara dan teman-teman kita menemani putra-putrinya mengikuti kelas melalui aplikasi zoom dan semacamnya (tentu diikuti segala pamer dan keluh kesahnya). Kita terkadang lupa bahwa kemampuan menyediakan fasilitas pendidikan di rumah adalah sebuah privilese.

Untuk kelas daring ini anda membutuhkan jaringan internet yang cukup untuk streaming audio dan video secara live, laptop atau minimal telepon pintar, ruangan yang memadai (yang sebaiknya tidak terganggu berisik dapur dan knalpot kendaraan di jalan depan rumah), hingga orang tua atau siapapun untuk mengawasi anak anda selalu fokus selama kelas berlangsung (karena tidak semua orang tua punya privilese bekerja dari rumah).

Golongan paling tersiksa yang tidak memiliki privilege ini adalah kaum miskin pedesaan yang anaknya masih berusia pra-sekolah hingga sekolah dasar. Ekosistem dan fasilitas pendidikannya bisa jadi lebih baik di sekolah ketimbang di rumah. Ditambah harus merogoh kocek untuk kelas daring, dengan kondisi ekonomi bak kerupuk terendam kuah soto begini.

Bagi kelas menengah di mana saya termasuk di dalamnya, privilese tadi lebih mudah diusahakan. Masalah yang ingin saya bicarakan justru lebih umum, yakni pertumbuhan sosial anak.

Pendidikan daring bisa diasumsikan sebagai sebuah usaha menciptakan simulasi interaksi sosial untuk menyampaikan materi-materi ajar. Ia bahkan adalah simulasi dari pengajaran itu sendiri. Bagaimanapun simulasi tetaplah simulasi, ia akan kesulitan untuk menyamai kualitas interaksi sosial yang sesungguhnya. Padahal interaksi sosial yang nyata penting bagi anak usia dini dalam mengembangkan kemampuan mereka bersosialisasi.

Interaksi sosial sendiri meliputi banyak hal, mulai dari ekspresi, gestur, kemampuan berbahasa, hingga hal-hal yang lebih kompleks seperti empati, toleransi, solidaritas, dan lain sebagainya. Kemampuan-kemampuan ini penting artinya bagi seseorang untuk dapat berfungsi dengan baik dalam lingkungan sosialnya. Sulit membayangkan kemampuan bersosialisasi yang kompleks yang prosesnya membutuhkan interaksi terus-menerus, mampu dicapai melalui sebuah simulasi.

Bagi anak-anak, cara meningkatkan kemampuan bersosialisasi paling mangkus dan belum tergantikan hingga saat ini adalah dengan membiarkan mereka bergaul dengan sebayanya. Yang mana ini lebih sulit diwujudkan jika sekolah masih ditutup.

Tanpa mengabaikan dampak COVID-19 bagi anak, kita mestinya bisa memahami bahwa anak turut dirugikan dengan penutupan sekolah. Kualitas pendidikan di Indonesia memang disadari masih buruk dibandingkan mayoritas negara lain, namun pendidikan di sekolah jelas lebih baik kualitasnya ketimbang pendidikan daring di rumah. Terlebih bagi keluarga miskin di pedesaan, sekolah seringkali tempat belajar yang lebih baik dari rumah. Pendidikan yang layak di sekolah juga mereka butuhkan untuk meningkatkan taraf perekonomiannya di masa depan.

Lalu kapan sekolah akan dibuka? Entahlah. Demi tanggung jawab sebagai orang tua, saya lebih suka menunggu kurva melandai.

 

PRADIPTO BHAGASKORO

Seorang Ayah, Alumnus Unair Surabaya

RELATED ARTICLES

Most Popular