Kematian Siyono yang seorang guru mengaji setelah ditangkap oleh Densus 88 Anti Teror, adalah pelajaran berharga bagi tatakelola pemberantasan terorisme di Indonesia. Kasus ini mau tidak mau harus menjadi bahan kajian serius ditengah upaya merevisi UU Pemberantasan Terorisme.
Opsi perluasan dan penambahan kewenangan dalam upaya pencegahan dan penindakan haruslah dicermati plus-minusnya. Tatakelola pemberantasan terorisme, juga harus diatur secara ketat dengan kombinasi sejumlah fokus. Pertama, mengatur pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam rangka pemberantasan terorisme, seperti soft approach maupun hard approach. Soft approach lebih pada skema mitigasi atas ancaman terorisme, seperti penyiapan daya tahan, stamina dan imunitas masyarakat maupun para penyelenggara pemberantasan terorisme sendiri.
Kedua, dalam kerangka hard approach, mengatur seperti apa kriteria seseorang dapat dikarantina untuk jangka waktu enam bulan meski belum disertai alat bukti yang cukup. Juga mengatur hak-hak yang harus diberikan pada tersangka dan keluarganya, selama proses penangkapan, karantina, penahanan hingga dinyatakan bersalah atau tidak. Termasuk juga memberi ruang untuk menggugat, kompensasi yang layak, serta pemulihan nama baik jika ternyata salah tangkap.
Ketiga, mengatur secara ketat batas kewenangan dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh para penyelenggara utama pemberantasan terorisme seperti Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Badan Intelijen Negara (BIN) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Termasuk soal fungsi pengawasan parlemen secara khusus serta keharusan dilakukannya audit kinerja jika terjadi kelalaian, kegagalan maupun penindakan yang melampaui kewenangan.
Keempat, mengatur organisasi, koordinasi, tanggung jawab, peran dan fungsi antar lembaga pemangku kepentingan pemberantasan terorisme. Terutama dalam hal pelibatan lembaga-lembaga yang tak memiliki fungsi pokok penegakan hukum, seperti TNI dan BIN. Ini agar tidak tumpang tindih, menimalkan ego sektoral maupun konflik kepentingan dan memperjelas rentang kendali, penjuru maupun pembiayaan.
Tak bosan untuk mengingatkan, teror sesungguhnya bukanlah kejahatan yang berdiri sendiri. Dia bersifat interaksionisme dan dapat dikelompokkan ke dalam kejahatan balas dendam atau hate crimes. Kemunculannya menyusul persoalan politik, hukum, ekonomi dan sosial. Dia berpeluang hadir dalam setiap geliat kehidupan. Ini adalah soal ketidakpuasan, kekecewaan, keputusasaan.
Karenanya Pemerintah, pemangku kepentingan pemberantasan terorisme maupun kelompok-kelompok masyarakat, jangan pernah lagi menanam kebencian dan dendam. Ini akan semakin menyulitkan upaya menaikkan tingkat kepercayaan dan dukungan bagi upaya pemberantasan terorisme. Selain tentu saja juga sangat berpotensi melipatgandakan dan menuai ancaman terorisme maupun munculnya pelaku-pelaku baru terorisme di nusantara.
Siyono, dengan nyawanya, telah memberi pelajaran sangat mahal bagi perbaikan tatakelola pemberantasan terorisme.
KHAIRUL FAHMI
Institute For Security And Strategic Studies