Thursday, May 2, 2024
HomeGagasanUrgensi Operasi Khusus di Papua

Urgensi Operasi Khusus di Papua

Ilustrasi. (foto: CAKRAWARTA)

Komandan Rayon Militer (Danramil) Aradide Letda Inf. Oktovianus Sogarlay gugur akibat penyerangan yang dilakukan kelompok Operasi Papua Merdeka (OPM) di Daerah Pasir Putih, Distrik Aradide, Kabupaten Paniai, Papua Tengah pada Kamis (11/4/2024). Tertembaknya perwira pertama TNI ini telah menambah rentetan tertembaknya aparat kita lebih dahulu Serka (Marinir) Anumerta Ismunandar pada bulan lalu (17/3/2024). Hal ini menjadikan satu catatan tersendiri bagi pengambil kebijakan pertahanan di Jakarta berkaitan dengan sikap kita terhadap OPM yang selama ini terkesan persuasif dan jika tidak berlebihan, masih permisif terhadap tindakan-tindakan yang menambah celah bahwa Indonesia kalah dalam bersiasat menghadapinya.

Berganti-ganti Istilah, OPM tetaplah Kombatan

Indonesia menghadapi satu benturan luar biasa. Di dalam lingkup internal, kritik dari BEM UI dan Komnas HAM menyeruak tentang sikap pemerintah khususnya aparat dari TNI/POLRI terhadap OPM yang dianggap di luar batas perikemanusiaan karena insiden-insiden yang terjadi sebelumnya dengan menitikberatkan HAM. Padahal perlu didudukkan persoalan secara tegas untuk memisahkan mana menyangkut posisi sebagai Warga Negara Indonesia, yang justru mereka tidak mengakui keberadaan negara, dan mana yang menyangkut warga sipil bersenjata di dalam hal ini tergabung dalam gerakan separatis yang artinya mereka adalah kombatan.

Kombatan atau pejuang sebagaimana telah diatur dalam Konvensi Jenewa 1949, merupakan “Anggota angkatan bersenjata suatu pihak yang terlibat konflik… adalah pejuang, artinya, mereka memiliki hak untuk berpartisipasi langsung dalam peperangan.” Ketika berperang dan terjadi tembak menembak sehingga berujung pada kematian warga sipil, maka sudah sewajarnya pihak yang dipersoalkan HAM-nya tadi adalah bagian dari gangguan keamanan negara dengan kerusakan yang ditimbulkan secara sosial termasuk membuat perpecahan antara warga Papua sendiri.

Belum lagi, kembali pada ranah domestik. Pemerintah Indonesia dalam hal ini otoritas keamanan belum dapat mendefinisikan secara tegas siapa OPM. Pernyataan Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto pada Jumat (12/4/2024) lalu adalah memberlakukan kembali istilah OPM setelah sebelumnya lebih akrab dengan istilah Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TPNPB). Setelah sebelumnya TNI di era kepemimpinan yang lalu memberlakukan istilah Kelompok Separatis Teroris (KST) dari yang sebelumnya Kelompok Kekerasan Bersenjata (KKB). Namun perlu digarisbawahi berkaca dari pengalaman sebelumnya, Keputusan Panglima TNI terkait perbedaan penyebutan nama ini sama sekali tidak memengaruhi kondisi riil di lapangan.

Adapun di dalam lingkup eksternal, tekanan diplomatik pada Indonesia terus dilayangkan melalui forum-forum internasional. Persoalan pilot berkewarganegaraan Selandia Baru Phillip Mertens belum usai hingga menimbulkan spekulasi bahwa sang pilot merupakan bagian dari operasi intelijen dari luar.

Lihat Konflik dalam Skala Lebih Luas

Alih-alih memandang dalam lingkup yang sempit seperti isu nasional dan pro-kontra HAM yang tiada akhir, kita seyogianya harus mendudukkan persoalan OPM dari kacamata kerentanan geopolitik yang besar. Pertama, kasus OPM yang tidak kunjung usai memang sarat dengan hubungan pertahanan yang terjalin di antara AS dengan sekutunya di Indo-Pasifik. Aliansi tradisional AS terbaru dengan Quadrilateral Security Dialogue (The Quad) dan kemitraan pertahanan dengan Australia dan Inggris AUKUS. Kedua forum ini perlu diperhatikan dan diawasi secara matang oleh pengambil kebijakan di Jakarta karena wacana senjata nuklir telah digulirkan dan bom waktu akan berdetak cepat. Hal ini ditengarai eskalasi di Indo-Pasifik mulai memanas dengan fokus kerja sama alutsista dengan fokus pada pengadaan kapal selam bertenaga sekaligus bersenjata ICBM berhulu ledak nuklir. Relasi tradisional Papua Nugini dengan Inggris sebagai patron-klien karena masih masuk dalam wilayah persemakmuran, relasi Papua Nugini dengan Australia kaitannya dengan kemitraan Pasifik, serta kerja sama militer AS untuk mendirikan pangkalan tentu semakin memperkuat disuarakannya isu Papua untuk segera lepas dari NKRI.

Kedua, dengan potensi isu geopolitik sebagaimana disebutkan di atas akan mengarah pada implikasi yang lebih besar. Potensi operasi klandestin berkaitan dengan intelijen Papua Nugini untuk mendukung secara tidak langsung pada kombatan OPM akan semakin besar. Hal ini mengacu pada kasus sebelumnya, di mana banyak arus distribusi senjata secara diam-diam di perbatasan diselundupkan melalui tapal batas yang tidak dijaga oleh aparat TNI yang menjadi keunggulan strategis bagi kombatan OPM. “Radar” TNI tentunya harus diperkuat setelah ini, mengingat relasi Port Moresby dengan Washington DC, Canberra, dan London sangat kuat terutama saat ini diinstituonalisasikan melalui Quad dan AUKUS.

Ketiga, dilema asertivitas yang dialami Indonesia ini menjadi jalan yang lebar bagi masuknya intervensi asing, tentu hal ini senada dengan artikel saya di Jawa Pos tahun lalu (26/4/2023) yang menyatakan bahwa interferensi dari luar tentu berpotensi sangat besar. Tantangan yang dihadapi ini membutuhkan suatu konsensus nasional untuk menegaskan kembali siapa sebenarnya OPM ini. Apakah kelompok ini dikategorikan sebagai KKB atau KST. Antara tidak menganggap ada OPM dengan lebih mengutamakan bahwa subjek yang sedang dilawan oleh aparat kita adalah TPNPB. Perlu juga dipertegas garis demarkasi apakah akan dilakukan operasi militer gabungan seperti yang dilakukan dalam kasus Satgas Madago Raya di Sulawesi untuk melumpuhkan gerombolan teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT), atau hanya sebatas pendekatan persuasif dan membiarkan warga sipil kita (orang Papua Asli yang kontra terhadap OPM) menjadi korban pemerkosaan, pembunuhan, dan tindak kriminal lain?

Sudah seharusnya menjadi harapan kita bersama bahwa Papua tidak segera jatuh ke tangan pihak asing hanya karena intervensi, apalagi menundukkan isu ini secara hitam-putih hanya sebatas persoalan HAM atau bukan. Persoalan kompleks di depan mata, dan sebagai khalayak tentunya dapat memberikan masukan positif bagi strategi pertahanan yang dapat diadopsi oleh Kemenhan dan Mabes TNI. Semoga solusi segera didapatkan oleh para pengambil kebijakan agar tidak banyak lagi aparat dari pihak Indonesia yang, mohon maaf, meninggal secara sia-sia, meskipun dedikasinya tetap kita hormati sebagai melati kusuma bangsa.

 

PROBO DARONO YAKTI

Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga dan Direktur Center for National Defence and Security Studies (CNDSS)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular