Thursday, May 2, 2024
HomeGagasanPenyebutan OPM dan Peluang Perubahan OMSP TNI di Papua

Penyebutan OPM dan Peluang Perubahan OMSP TNI di Papua

Konflik bertema separatisme seringkali memang terlihat memiliki kemiripan satu sama lain. Misalnya soal deprivasi relatif atau kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang berkembang menjadi akumulasi kekecewaan, kebencian dan kemudian perlawanan bersenjata.

Setiap konflik juga ditandai oleh adanya social trap (jebakan sosial) seperti tidak adanya kepercayaan satu sama lain di antara pihak yang berkonflik. Dalam konteks separatisme, itu berarti antara negara dan pemerintah dengan kelompok yang ingin memisahkan diri.

Sekitar dua pekan terakhir, masalah Papua menjadi salah satu topik yang ramai diperbincangkan. Perbincangan terutama menyangkut pernyataan panglima TNI tentang perubahan sebutan terhadap kelompok bersenjata yang terus melancarkan serangan hingga menelan korban prajurit TNI maupun personel Polri yang tak sedikit.

Perubahan Sebutan OPM dan Implikasinya

Sebenarnya, dengan atau tanpa penggantian sebutan, kelompok bersenjata di Papua selama ini memang mengklaim tujuan untuk melepaskan diri dari NKRI alias merdeka. Artinya, perubahan sebutan itu justru sesuai dengan klaim kelompok yang menyebut diri sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang merupakan bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM). Hal itu dipertegas oleh Panglima TNI dalam penjelasannya mengenai perubahan sebutan kelompok tersebut.

Kelompok-kelompok bersenjata di Papua selama ini memang menginginkan pengakuan bahwa mereka adalah bagian dari organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan dan memisahkan diri dari Indonesia. Jadi penggantian sebutan ini justru sesuai dengan klaim mereka.

Nah, penyerangan dan penghadangan adalah hal yang memang lazim dilakukan oleh kelompok separatis bersenjata sebagai bagian dari strategi perang gerilya. Tujuannya jelas: teror, provokasi dan propaganda sekaligus. Terutama sebagai unjuk eksistensi dan sarana penyampaian pesan kemerdekaan yang mereka perjuangkan.

Namun dalam hal ini TNI tetap perlu diingatkan dan menyadari bahwa inisiatif perubahan atribusi itu sebenarnya tidak berarti apa-apa tanpa adanya perubahan kebijakan atau keputusan politik negara.

Tanpa perubahan status dari kelompok kriminal bersenjata menjadi gerakan separatis bersenjata secara resmi oleh negara, perubahan bentuk operasi militer selain perang (OMSP) di Papua tetap sulit dilakukan. Hal ini mengingat setiap tindakan TNI pada dasarnya harus mengacu pada perintah Presiden selaku panglima tertinggi.

Sepanjang tidak ada perubahan kebijakan dan keputusan negara, maka OMSP TNI di Papua masih tetap sama saja seperti sebelumnya, yaitu OMSP perbantuan pada Polri dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban. Bukan OMSP dalam rangka mengatasi gerakan separatis maupun pemberontakan bersenjata.

Tapi untuk memastikan setiap prajurit terutama yang bertugas di daerah-daerah rawan Papua selalu siap siaga dan waspada, yang paling mungkin dilakukan oleh TNI (sepanjang belum ada perubahan kebijakan politik negara) adalah tetap mempertahankan status siaga tempur di sejumlah daerah rawan, sebagaimana diperintahkan Laksamana Yudo Margono saat menjabat Panglima TNI.

Kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya serangan sewaktu-waktu adalah keharusan. Hal ini mengingat kelompok yang bergerilya selalu menjaga dirinya berada dalam gelap. Sementara para prajurit yang berpotensi diserang dan dihadang ini bisa dikatakan berada di posisi yang relatif terang dan terbuka.

Operasi Militer Tidak Pernah Berdiri Sendiri

Setiap konflik jelas memiliki latar belakang, riwayat dan karakteristiknya masing-masing. Karena itu kecil sekali kemungkinan sebuah pola penyelesaian dapat ditiru atau diadopsi sepenuhnya. Success story penyelesaian konflik dan perdamaian di Aceh tidak mungkin ditiru sepenuhnya di Papua. Begitu juga bayang-bayang lepasnya Timor Timur, tidak boleh menjadi penghalang upaya penyelesaian konflik Papua. Apa yang terjadi di Aceh dan Timor Timur justru bisa dipetik sebagai pelajaran.

Dalam kasus Aceh, harus diakui bahwa operasi militer yang dijalankan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri memang berhasil menekan, mempersempit ruang gerak, bahkan nyaris melumpuhkan kekuatan milisi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun di sisi lain, operasi itu juga mendapat sorotan dan tekanan internasional. Indonesia direpotkan oleh banyaknya tudingan pelanggaran HAM berat. Apalagi operasi saat itu juga menelan banyak korban warga sipil non-kombatan, terutama perempuan dan anak-anak.

Operasi militer yang berlarut-larut karena perlawanan GAM tentu menguras sumber daya negara. Di sisi lain, pihak GAM juga melihat perlawanan bersenjata dan perjuangan politik mereka semakin kurang efektif. Nah, tragedi Tsunami yang meluluhlantakkan Aceh pada akhir 2004 harus diakui telah membuka jalan mundur bagi negara maupun pihak GAM.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono melihat peluang untuk membangun dialog melalui pihak ketiga, yang akhirnya sebagaimana kita saksikan, kesepakatan damai Helsinki 2005 kemudian menghadirkan sistem dan metode baru hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh, yang didukung sepenuhnya oleh masyarakat internasional dan telah berjalan dengan baik hingga saat ini.

Sementara itu, kasus Timor Timur berbeda. Sejak awal Indonesia dinilai tidak memiliki alas hukum yang kuat ketika menganeksasi bekas jajahan Portugal itu dan kemudian mengintegrasikannya sebagai provinsi ke-27. Ini mengakibatkan isu Timor Timur selalu menjadi penyulit bagi Indonesia di forum internasional.

Di dalam negeri, operasi militer yang berlarut-larut untuk menumpas perlawanan bersenjata yang terutama dilancarkan oleh Falintil, sebuah kelompok milisi yang merupakan sayap partai politik Fretilin, telah menguras sumber daya manusia dan logistik. Tekanan internasional juga telah menyulitkan kepentingan pemerintah Indonesia, sehingga Presiden BJ Habibie saat itu kemudian menyetujui digelarnya jajak pendapat yang berakhir dengan kemerdekaan Timor Timur. Kedua negara kini berdampingan secara damai dan justru memiliki hubungan yang erat.

Dalam konteks Papua, selain problem klasik kondisi medan dan cuaca, kita juga dihadapkan pada kondisi dimana kelompok-kelompok bersenjata di Papua ini walaupun dikatakan berada dalam naungan TPNPB-OPM, faktanya mereka cenderung otonom bahkan bersaing dan bertikai satu sama lain yang menyulitkan upaya membangun komunikasi.

Ini berbeda dengan GAM yang secara organisasi memiliki struktur, hirarki dan garis komando yang jelas. Demikian pula para pejuang Timor Leste yang meski punya latar belakang ideologi berbeda-beda, tapi mampu mengesampingkannya demi tujuan kemerdekaan.

Dari kedua kasus masa lalu ini, kita bisa melihat bahwa upaya penyelesaian masalah separatisme tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan keras semata. Operasi militer skala besar yang berlarut-larut juga harus dihindari karena memiliki kecenderungan eksesif dan merugikan.

Jadi, pendekatan keras melalui operasi militer oleh TNI maupun operasi pemeliharaan keamanan oleh Polri mestinya tidaklah berdiri sendiri dan hanya dilakukan untuk menerobos kebuntuan politik. Selain itu, pendekatan keras harus berjalan paralel dan simultan dengan operasi propaganda positif dengan tujuan membangun kepercayaan publik melalui perlindungan dan pelayanan masyarakat yang fair dan imparsial.

Penyelesaian Konflik adalah Proses Politik

Penyelesaian konflik apalagi separatisme, pada akhirnya tetaplah merupakan proses politik yang harus disepakati dengan cara duduk bersama. Nah operasi militer yang dijalankan itu harus bertujuan untuk menekan, mempersempit ruang gerak hingga melemahkan atau melumpuhkan kekuatan bersenjata dalam waktu yang sesingkat mungkin, sehingga proses politik untuk menghentikan perlawanan sepenuhnya dan resolusi konflik bisa berjalan dengan baik.

Pemerintah jelas sudah meyakini bahwa masalah Papua harus diselesaikan dengan cara-cara yang komprehensif dan lintas sektor. Artinya, penyelesaian masalah Papua mestinya tidak bisa dibebankan dan memang bukan tanggung jawab TNI dan Polri semata.

Sebenarnya ini bukan berarti pemerintah tidak boleh lagi melibatkan TNI dan Polri dalam penyelesaian masalah Papua. Pengutamaan dialog dan pendekatan lunak juga bukan berarti pendekatan keras harus dikesampingkan sama sekali.

Perubahan nama yang disampaikan oleh Panglima TNI itu menurut saya menunjukkan harapan adanya distribusi peran yang lebih relevan. Pendekatan keras dilakukan oleh TNI terhadap kelompok separatis. Sedangkan Polri, fokus saja pada penanganan pelaku kejahatan, pengacau keamanan dan pengganggu ketertiban umum. Nah mengenai pendekatan lunak, itu mestinya dilakukan multi-sektor oleh kementerian/lembaga pemerintahan lainnya.

Bagaimanapun sejauh ini kita sudah bisa melihat dengan gamblang bahwa aksi-aksi kelompok bersenjata di Papua ini ditujukan bukan sekadar untuk mengganggu keamanan melainkan dengan tujuan memisahkan diri dari Indonesia dan mereka juga melakukan aksi-aksi teror untuk menurunkan moril prajurit dan menakuti warga masyarakat.

Artinya, itu adalah gerakan separatis bersenjata. Nah jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, TNI mestinya bisa diperintahkan mengatasinya melalui skema Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dalam rangka mengatasi gerakan separatis bersenjata dan pemberontakan (Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 1). Jadi bukan lagi sekadar OMSP tugas perbantuan pada Polri dalam penegakan hukum.

Jika itu dilakukan, maka tindakan TNI harus sepenuhnya mengacu pada protokol dan konvensi internasional yang mengatur bagaimana tindakan militer dilakukan terhadap aksi separatisme bersenjata. Termasuk juga, bagaimana perlakuan terhadap milisi yang tertangkap, non-kombatan dan warga sipil.

Dengan begitu, momok pelanggaran HAM bisa dihindari sepanjang tindakan mereka sepenuhnya berada dalam ruang lingkup protokol dan konvensi. Jika tidak, sanksi internasional dan tuntutan kejahatan perang pasti akan dijalankan.

Tapi ini sepenuhnya kembali pada itikad pemerintah dan DPR, apakah akan tetap memelihara keraguan serta membiarkan kondisi tumpang tindih dan carut marut ini berlanjut, atau bersedia mengambil langkah berani dengan merumuskan rencana aksi yang mencerminkan perubahan kebijakan atau keputusan politik dan dapat dijalankan secara simultan dan komprehensif.

Rencana aksi itu antara lain:
– Pengakhiran perlawanan separatisme bersenjata demi kedaulatan dan keutuhan wilayah menggunakan TNI sesuai Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 Pasal 7 ayat 2 huruf (b) angka (1).
– Pelindungan masyarakat, pemeliharaan keamanan dan penegakan hukum secara berkelanjutan oleh Polri; serta
– Penguatan kepercayaan dan dukungan masyarakat secara konsisten dengan menghadirkan layanan publik dan program pembangunan yang layak, partisipatif dan akuntabel melalui perangkat-perangkat pemerintahan di Papua.

Akhirnya, kita memang harus memahami bahwa penyelesaian masalah Papua memang tidaklah sesederhana menurunkan beberapa batalyon tempur lalu semua bisa tuntas. Kita juga harus mengingat bahwa dulu Presiden Soekarno memperjuangkan Papua sebagai bagian dari Republik Indonesia itu adalah demi kesejahteraan dan kemuliaan bersama dari Sabang sampai Merauke. Bukan untuk sekadar dieksploitasi sumber dayanya.

 

KHAIRUL FAHMI

Pemerhati pertahanan keamanan pada Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular