JAKARTA – Pembatasan umur KPK selama 12 tahun dalam draft revisi UU KPK di tengah praktik korupsi yang masih “membudaya” dinilai tidak mencerminkan kesadaran kolektif anti korupsi masyarakat yang menempatkan korupsi sebagai extraordinary crime. Demikian dijelaskan oleh Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Hukum, Perundang-undangan dan Hak Asasi Manusia, Robikin Emhas.
“Bahkan (pembatasan umur KPK) boleh dikatakan tidak memiliki basis argumentasi dan rasio legis yang memadai,” ujar Robikin di Jakarta, Rabu (7/10) melalui keterangan tertulisnya.
Robikin menambahkan, sangat bisa dipahami apabila terjadi penolakan publik terhadap gagasan itu. Hal itu menurut pengacara konstitusi ini akan berbeda seandainya pembubaran KPK yang memang bersifat ad hoc itu didasarkan pada indeks korupsi dengan parameter yang akuntabel misalnya.
Menurut Robikin, Nahdlatul Ulama (NU) dalam Muktamar ke-33 di Jombang pada awal Agustus lalu bahkan merekomendasi agar koruptor dihukum mati. Rekomendasi itu dilakukan setelah melalui kajian mendalam dan sangat hati-hati. Termasuk dari sisi hak asasi manusia mengingat menyangkut hak hidup manusia.
“Diantara pertimbangan faktual NU merekomendasi hukuman mati terhadap koruptor adalah karena daya rusak korupsi yang langsung menyentuh kehidupan ekonomi masyarakat di tingkat akar rumput,” tegasnya.
Oleh karena itu, menurut Robikin, PBNU dalam keadaan seperti ini, politik pembangunan hukum harus memperkuat institusi penegak hukum di bidang pemberantasan korupsi, baik kepolisian, kejaksaan dan KPK.
“Selain itu pembentuk undang-undang melalui proses legislasi yang ada perlu terus mendorong tata kelola pemerintahan yang makin akuntabel dan transparan, serta terus mengupayakan tumbuh-berkembangnya budaya anti korupsi di masyarakat,” pungkasnya.
(re/bti)