Wednesday, May 21, 2025
spot_img
HomeGagasanPattani, Suatu Hari: Catatan Perjalanan Indra J Piliang

Pattani, Suatu Hari: Catatan Perjalanan Indra J Piliang


Pattani berasal dari bahasa Arab, Fatonah, yang artinya bijaksana. Keterangan ini datang dari seorang penunggu mesjid tua di Pattani. Mesjid itu, yang menjadi ajang pembantaian tentara Thailand pada tahun 2004 lau, didirikan oleh Sultan Muzaffar Shah dari Kerajaan Malaka. Mesjid itu berdiri pada tahun 877 Hijriyah. Penunggu mesjid itu mengatakan setelah Hindu dan Budha, Islam menjadi agama penduduk lokal.

Terus terang, tidak banyak pengetahuan orang Indonesia tentang Thailand Selatan, termasuk Pattani. Bahkan tentang Thailand secara keseluruhan. Dengan pengetahuan minim itulah aku berangkat ke Thailand Selatan. Sempat singgah di Kualalumpur, lalu bertemu dengan sejumlah teman: Karim Raslan, M Nur Kamal, John Pang, Aurelia, Syamsul, dan Nadia. Aku ditemani oleh Siti Fatimah, staf di kantor Karim Raslan di Jakarta.

Nadia menjadi guide kami di Thailand Selatan. Dia adalah mahasiswi Prince of Songkla University, Pattani. Sebagai mulimah, dia terlihat begitu energik, santai dan banyak bicara.

Aku berangkat ke Kuala Lumpur tanggal 28 Mei 2006, sehari setelah gempa bumi dengan kekuatan 5,8 skala richter mengoyak Yogyakarta dan sekitarnya. Walau hatiku pedih, aku tetap berangkat. Mestinya, aku berangkat ke Yogya, kota yang sering kukunjungi dalam seminar dan diskusi dengan para mahasiswa dan kalangan masyarakat sipil. Tapi, aku tak mungkin membatalkan keberangkatan ini, karena sudah direncanakan jauh-jauh hari.

Di Kuala Lumpur sempat mampir ke sebuah kafe, lalu dihampiri oleh dua orang gadis Vietnam. Mereka mengira aku orang Philipina. Keduanya ingin ikut ke hotelku, Boulevard Hotel. Dalam pembicaraan singkat, aku tanya apa yang harus aku berikan kalau keduanya ikut. Mereka menyebut tarif mereka, 1000 ringgit Malaysia berdua. Ketika kutanya, kenapa mesti berdua, mereka menyebut itulah aturannya. John dan Kamal menyeritakan kepadaku betapa makin banyak gadis Vietnam datang ke Malaysia untuk mengadu peruntungan. Keduanya cantik, putih, gabungan antara Vietnam dan China. Tentu aku tidak membawanya ke hotel. Aku memang suka bertanya, menggali cerita.

Pagi berangkat ke Hat Yai dengan pesawat Air Asia. Tidak begitu banyak penumpang di kabin. Aku lebih banyak tidur, karena memang kurang tidur. Bangunpun pukul 5 pagi, tanpa sempat menikmati tidur yang pulas. “Penyakit” psikologisku kambuh lagi, selalu pada malam pertama ke luar kota atau ke luar negeri tidak bisa tidur.

Air Asia punya bandara sendiri. Dulu, waktu pertama ke Kuala Lumpur, aku juga naik Air Asia, tetapi mendarat di Kuala Lumpur International Airport, beberapa meter dari airport sekarang. Aku juga pernah ketemu pemiliknya, Tony Fernandez, dalam perjalanan dari Kuala Lumpur ke Bali dengan tema To Bali with Love. Tony sempat menghadiahi aku tiket pulang pergi Air Asia kemanapun, karena bernyanyi di pesawat. Sampai sekarang tiket gratis itu belum kuambil dan gunakan. Air Asia adalah maskapai penerbangan termurah. Now Everyone Can Fly, begitu motto mereka.

Tidak banyak yang bisa dilakukan, ketika menunggu penerbangan ke Hat Yai. Check in harus dua jam sebelum keberangkatan. Makan McDonald, sambil terkantuk-kantuk.

***

Hat Yai menyambut kami dengan “dingin”. Tidak ada kemeriahan, dibandingkan dengan Bangkok. Pintu keluar mobilpun diperiksa pakai detektor logam, sebagaimana dengan hotel-hotel dan gedung-gedung Jakarta. Southern Thailand memang daerah yang bergejolak. Sebelum sampai Pattani, kami melewati sejumlah titik pemeriksaan (check point). Untunglah jalannya bagus, barangkali jalan terbagus yang pernah kulewati seumur hidup. Namanya, Asia Road, membentang dari perbatasan Southern Thailand-Malaysia, sampai ke Northern Thailand. Kiri-kanan jalan dihiasi banyak pohon, kadang bunga-bunga yang indah.

Dari jauh, terlihat kota Hat Yai yang juga dipenuhi gedung-gedung tinggi, tetapi dengan tanah yang lapang dan penduduk yang jarang. Aku berpikir, bagaimana Southern Thailand mau dan bisa merdeka, apabila Bangkok membangun banyak jalan bagus? Tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan perbedaan antara apa yang aku pikirkan dengan yang dirasakan oleh penduduk.

Sampai di CS Pattani Hotel pada sore hari, menjelang maghrib. Makan sore di sebuah restoran. Ah, aku merasa seperti deja vu. Sekalipun tidak mengerti bahasa dan tulisan Siam, tetapi dari kultur masyarakat setempat, rasa makananannya, simbol-simbol pada dinding rumah makan, gambar-gambar Ka’bah, dan penganan yang dihidangkan, terasa sekali khas Sumatera, tepatnya Melayu. Aku seperti berada dalam tahun-tahun di belakang, tetapi di tempat yang asing di masa lalu.

Usai makan langsung ke hotel, lalu bertemu dengan satu guide lagi, muslimah Pattani dengan jilbab yang lebih rapat. Namanya Kak Roh. Kami langsung jalan ke sebuah tempat yang pastinya menjadi saksi hidup dari perasaan masyarakat Thailand Selatan secara umum, terutama dari komunitas Muslim. Ibu itu namanya Faridah, sementara mertuanya bernama Maryam. Suami ibu Faridah meninggal dalam tragedi terbunuhnya sekitar 86 orang Muslim Thailand Selatan pada tahun 2004.

INDRA J PILIANG

Ketua Badan Pendiri Sang Gerilya Indonesia

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular