Tuesday, April 23, 2024
HomeGagasanPasca Dekrit Soekarno "Pecah Kongsi" dengan Nasution

Pasca Dekrit Soekarno "Pecah Kongsi" dengan Nasution

1185014_575416342521122_2091510621_n

Mengapa saya menjadi “spesialis” mengamati dan mempelajari hubungan Soekarno dan Nasution? Jawabannya sederhana, tidak lain untuk membantu generasi muda memahami periode sejarah Indonesia modern, khususnya periode setelah Kemerdekaan 1945 sampai dengan berakhirnya kekuasaan Soekarno pertengahan dekade 60an, dimana dua tokoh tersebut memegang peranan sentral yang cukup lama. Di satu sisi secara kebetulan kami  banyak memiliki info dan data, sementara banyak generasi muda yang besar di era Orde Baru (32 tahun) dibutakan oleh kekuasaan rezim Orba tentang dua tokoh tersebut.

Sebagaimana dapat dibaca dalam tulisan kami sebelumnya tentang pasang surut hubungan Soekarno Nasution, maka tulisan singkat kali ini akan menyorot  hubungan Nasution dengan Soekarno setelah Dekrit 5 Juli 1959.

Sebelum Dekrit hubungan Soekarno Nasution sangat baik. Berbulan bulan Soekarno sering ke luar negeri boleh dibilang Soekarno percaya full terhadap Nasution dalam menjaga negara. Bahkan persiapan dan kondisioning Dekrit sepenuhnya diatur oleh Nasution. Begitulah keduanya kompak menghadapi kebuntuan politik dalam negeri khususnya karena anggota Konstituante berlarut-larut belum selesaikan Konstitusi pasca Pemilu 1955.

Setelah Dekrit ternyata Soekarno sudah punya rencana besar lain yang tidak pernah diperkirakan oleh Nasution.

Soekarno “memanfaatkan” perananan sebagai Kepala Pemerintahan menurut UUD 1945 yang selama 1 dekade oleh UUD Sementara 1950 dikebiri dan Presiden dalam sistem parlementer cuma lambang. Bagai orang kehausan Soekarno memanfaatkan kekuasaan baru tersebut dalam UUD 1945. Secara nyata Soekarno memakai simbol sebagai Panglima Tertinggi ABRI, lengkap dengan pangkat dan jas dan sederet tanda penghargaan di dadanya. Sekaligus juga menjadi Penguasa Perang Tertinggi (PEPERTI) dengan Staf Kotinya Ahmad Yani berkantor di Istana. Sehingga secara tidak langsung melikuidasi peranan Kantor Perdana Menteri Djuanda di Pejambon sekaligus juga melikuidasi peranan KSAD Jenderal AH Nasution. Ini sesuatu yang di luar perkiraan Nasution.

Setelah pidatonya 17 Agustus 1959 (lebih kurang sebulan setelah Dekrit) dengan judul Manifesto Politik (Manipol) USDEK (UUD 1945, Demokrasi Terpimpin, EkonomiI Terpimpin, Kepribadian Indonesia)  yang kemudian dilengkapi lagi dengan pidato 17 Agustus 1950, RESOPIM (Revolusi Sosialisme Pimpinan) maka praktis Soekarno menjelma menjadi diktator karena setelah itu semua lembaga tinggi negara di ritul menjadi cuma menjadi pembantu Presiden.

Dewan Pertimbangan Agung menjadi lembaga semacam Comite Central karena diisi oleh Ketua Ketua Partai seperti DN Aidit (PKI), Idham Chalid (NU), Ali Sastroamidjojo (PNI) bahkan WaKASAD Mayjen Gatot Soebroto yang tidak suka politik pun dimasukkan (mengapa bukan KASAD AH Nasution?).

Pada saat membahas RAPBN 1960 tiba tiba Soekarno nimbrung (sesuatu yang tak biasa dilakukannya) dengan mengatakan bagaimana agar DPR tidak mempersulit Pemerintah. Sehingga berkembanglah gagasan meritul anggota DPR hasil Pemilu 1955 menjadi DPR Gotong Royong. Ini menimbulkan perlawanan dari berbagai tokoh dan partai. KH Bisri dari NU paling vokal, disusul Mr Sartono Ketua DPR hasil Pemilu dari PNI dll.

Namun akhirnya Soekarno dengan Penpres No 3/1960 meritul anggota DPR hasil Pemilu 1955 menjadi DPR Gotong Royong yang terutama sangat merugikan partai politik Islam.

Dengan alasan “darurat revolusioner” atau revolusi belum selesai, Soekarno menjelma menjadi Pemimpin Besar Revolusi (PBR). Dan dengan itu dianggap sah melakukan penyimpangan UUD 1945, menghalal berbagai cara untuk mencapai tujuan revolusi.

Dalam uraian yang detil dan panjang dalam bukunya Memenuhi Panggilan Tugas, Jenderal Nasution menyebut langkah Soekarno itu sebagai Verlinksing (bahasa Belanda yang berarti peng-kiri-an).

Memang tidak dapat dipungkiri dalam periode itu Soekarno sesuai konsep NASAKOM sedang bergerak ke kiri. Dan itu diduga sebagai kesuksesan kaum komunis muda seperti DN Aidit dan kawan-kawannya telah berhasil merangkul Soekarno.

Dalam berbagai episode setelah Soekarno menjelma menjadi diktator itu terjadi friksi dengan TNI AD (terkenal peristiwa 3 SELATAN), bahkan kelompok tertentu dalam Angkatan Darat dimotori Letkol Soekendro dan beberapa kader partai  membentuk Liga Demokrasi untuk melawan kediktatoran Soekarno. Bung Hatta sendiri mengeluarkan buku berjudul Demokrasi Kita yang akhirnya dilarang.

Dalam suasana demikianlah konflik politik pasca Dekrit Presiden dimana Soekarno “melupakan” jasa Nasution yang telah berhasil mengatasi pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi, memperlancar proses Dekrit Presiden bahkan membantu suksesnya perebutan Irian Barat kembali ke pangkuan RI. Nasution akhirnya harus menyerahkan jabatannya ke Jend. Ahmad Yani pada tahun 1962 dan Nasution dipromosi ke “langit kosong” sebuah jabatan tanpa kewenangan berarti yaitu Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata dimana Soekarno langsung Panglima Tertingginya. Nasution pun hanya Stafnya.

Dalam jabatan inilah dimana tidak punya kewenangan komando, tidak punya pasukan, Nasution menjadi salah satu target yang harus dibunuh oleh apa yang disebut sebagai Gerakan 30 September atau menurut versi Bung Karno Gerakan Satu Oktober (GESTOK). Lalu belakangan ada saja fitnah yang mengatakan bahwa Nasution pengecut mengapa tidak ambil alih kekuasaan saat jenderal lain terbunuh. Mereka tidak faham bahwa saat itu Nasution  tak punya komando dan tidak punya pasukan.  Yang punya standing order kalau Panglima Angkatan Darat berhalangan adalah Pangkostrad Mayjen Soeharto, yang punya komando dan pasukan yang tidak masuk dalam daftar yang akan dibunuh.

M. HATTA TALIWANG

Pimred Senior Majalah Forum Keadilan

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular