JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat memasukkan produk olahan daun tembakau kering dalam bentuk kretek ke Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan yang sedang dibahas tahun ini. Menurut DPR, rokok kretek dianggap sebagai salah satu warisan budaya yang harus dilestarikan. Tak ayal, hal itu menimbulkan pro dan kontra.
Diluar kalangan pengusaha rokok kretek dan orang-orang yang mengepulkan periuknya melalui industri ini yang tentunya pro ada pula sebagian pihak yang menolak. Alasannya tentu karena rokok kretek dianggap sangat berbahaya, khususnya bagi generasi muda dan banyak pertimbangan lainnya.
Salah satu pihak kontra itu adalah Menteri Kesehatan RI, Nila Moeloek yang merasa heran bagaimana bisa produk rokok kretek bisa masuk RUU Kebudayaan. Menurut Nila, DPR perlu menyikapi hal ini dengan lebih bijak, utamanya soal definisii budaya terkait rokok kretek.
“Kami mempertanyakan rokok kretek sebagai budaya, harus dikembalikan dulu apa yang disebut budaya itu,” ujar Nila saat ditanyai wartawan, Jumat (9/10).
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah lama mengecam segala jenis olahan daun tembakau. Bahkan, di lingkungan perkantoran Kemenkes sendiri dilarang untuk merokok. Pelanggarnya dikenai sanksi tegas jika ketahuan, mulai dari peringatan hingga dikeluarkan.
Sementara dari sisi kesehatan, Menteri sendiri mendukung olahan tembakau kering tak masuk dalam RUU. Pasalnya, hal tersebut dinilai sangat berbahaya.
“Lihat saja jumlah peningkatan perokok muda di Indonesia. Dari data yang ada, terjadi eskalasi sebesar 20% untuk perokok di usia muda,” imbuh Menkes.
Tak ada yang menyangkal, jika industri rokok berperan menggerakkan roda perekonomian tanah air. Dengan harga perbatangnya yang murah, banyak orang membeli barang tersebut. Namun, perlu disadari juga dampaknya pada kesehatan perokok aktif dan perokok pasif.
“Memang rokok itu murah sekali, tapi ongkos mengobati penyakit akibat rokok itu mahal,” pungkasnya.
(msa/bti)