SOLO – Terkait munculnya aksi unjuk rasa putra daerah Papua yang menuntut referendum, pengamat sosial politik yang juga tokoh Indonesia Timur, Rahman Sabon Nama mengajak rakyat Indonesia agar mendukung kerja keras pemerintahan Jokowi-JK merealisasikan janjinya terlebih dahulu. Salah satu janji Jokowi-JK tersebut ialah membangun infrastruktur dasar di berbagai daerah khususnya Indonesia Timur.
“Kami warga kawasan Timur Indonesia etnis Melanesia bangga dan sayang dengan Jokowi yang berkali-kali datang ke NTT, Maluku dan Papua sehingga infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandara telah dibangun dan diresmikannya,” ujar Rahman Sabon Nama, Rabu (6/4/2016).
Kunjungan Jokowi tersebut menurut Rahman Sabon Nama dalam rangka membedah akses ekonomi daerah terpencil yang selama ini kurang diperhatikan dan terisolir. Kunjungan yang intens dari Presiden Jokowi dinilai berdampak pada adanya pergerakan ekonomi yang mulai bergeliat hidup dan berdaya saing untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.
Presiden Jokowi pada 4 hingga 6 April 2016 ini memang melakukan kunjungan ke wilayah Indonesia Timur untuk meresmikan pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, bandar udara dan pelabuhan laut. Tujuannya agar upaya menciptakan keseimbangan disparitas harga kebutuhan bahan pokok dan lainnya antara pasar Indonesia Timur, Barat dan Tengah menjadi seimbang dan bisa sama.
Namun, Rahman Sabon Nama menyayangkan adanya insiden sekelompok kecil masyarakat melakukan aksi unjuk rasa menuntut diadakannya referendum di tengah melakukan kunjungan kerja di Maluku, Maluku Utara dan Papua. Terkait dengan hal itu, menurut Rahman, dirinya meminta Pemerintah agar menghentikan segala bentuk kegiatan yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
“Status Papua dan Papua Barat sudah final. Referendum sudah dilakukan melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 53 tahun yang lalu yakni 1 Mei 1963. Untuk itu, Papua sudah final dan merupakan bagian dari NKRI dan tidak perlu diutik lagi. Untuk itu saya minta pada pemerintah untuk tegas bertindak pada siapapun negara asing yang mencoba mendukung gerakan separatis agar ditantang dan bagi oknum yang melakukan gerakan disintegrasi memisahkan tanah Papua dari NKRI agar ditindak tegas,” pungkas Rahman.
Untuk diketahui, Pepera dilakukan untuk melaksanakan Persetujuan New York agar Belanda segera menyerahkan pemerintahan Papua dan Papua barat pada Pemerintah Indonesia melalui Sekjen PBB dengan membentuk UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority).
Presiden RI saat itu, Ir. H. Soekarno di alun-alun Yogjakarta mengumumkan dilakukannya Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) membentuk Komando Mandala dengan panglima perang Mayjen TNI Soeharto untuk mengusir Belanda dari tanah Papua, karena Belanda tidak segera hengkang dari Papua.
Perjuangan fisik tersebut dimulai dari Merauke (tempat Presiden Jokowi menetapkan “Kapsul Waktu” pada pergantian tahun 2015 ke 2016) yang lalu. Di tempat itu pula Mayor L.B Moerdani mendaratkan pasukannya. Dari pertempuran heroik 15 Januari 1962 ditandai dengan gugurnya Komodor Yos Sudarso di Laut Arafuru yang melibatkan KRI Macan Tutul, KRI Macan Kumbang dan KRI Harimau.
Sesuai dengan amanat New York Agreement yang tertuang dalam pasal XX agar dilakukan Penentuan Pendapat Rakyat Papua, maka Dr. Fernando Ortiz Sans dari Bolivia diutus sebagai wakil dari Sekjen PBB mengawasi jalannya Pepera yang di ikuti kurang lebih 800.000 penduduk Papua dari 8 Kabupaten yaitu Jayapura, Teluk Cendrawasih, Manokwari, Sorong, Fak-Fak, Merauke, Jayawijaya dan Paniai, sehingga Referendum sudah selesai dan final.
(bm/bti)