SURABAYA – Dalam rangka menekan mobilitas masyarakat guna mendukung upaya menekan laju kasus positif Covid-19, pemerintah secara resmi melarang masyarakat dari kalangan manapun untuk melakukan mudik sejak 6 Mei hingga 17 Mei 2021.
Namun, kontradiktif dengan kebijakan pelarangan mudik tersebut, pemerintah justru memperbolehkan dibukanya tempat wisata dalam kota. Kebijakan ini mendapatkan banyak kritikan dari beragam kalangan, salah satunya epidemiolog. Dihubungi melalui saluran telepon, epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (FKM Unair), Laura Navika Yamani menyayangkan tidak sinkronnya kebijakan yang diambil pemerintah itu.
“Saya kira penting diperhatikan pemerintah bahwa tujuan mengurangi mobilitas masyarakat guna menekan laju kasus positif Covid-19 maka tempat wisata apapun itu harus ditutup terutama di momen libur lebaran mengingat sangat berpotensi terjadi kerumunan yang begitu besar dan banyak titik,” ujar Laura kepada cakrawarta.com, Kamis (8/4/2021) pagi.
Alumnus Universitas Kobe Jepang itu menambahkan bahwa meskipun kebijakan cuti bersama telah ditiadakan tetapi euforia masyarakat yang ingin pulang kampung, mudik atau liburan pasti muncul dan membesar terutama di momen lebaran.
“Ketika mudik dilarang tapi tempat wisata dibuka walau itu hanya dalam kota maka orang bakal ke tempat wisata sebagai alternatif solusi. Dan dengan dalih liburan tersebut mereka bisa juga pulang kampung atau bertemu dengan keluarga di satu destinasi wisata tertentu. Potensi ini kan tetap ada dan besar. Misal kalau mudik mungkin bisa kena sidak petugas, tetapi bagaimana jika janjiannya justru kumpul di tempat wisata dengan keluarga besarnya, di restoran gitu. Apakah ini sudah diantisipasi oleh pemerintah misal tempat wisata boleh dibuka?” tanya Laura yang juga peneliti di Institute of Tropical Disease Unair itu.
Karenanya, Laura berharap pemerintah bisa konsisten terhadap kebijakannya. Ia mengingatkan ketika awal pandemi Covid-19 tempat wisata tidak menjadi concern pemerintah, justru pada akhirnya menjadi salah satu cluster penularan Covid-19.
“Jadi ketegasan itu juga harus muncul di semua momen sampai kasus kita melandai. Di awal pandemi, destinasi wisata tidak jadi perhatian pemerintah, akhirnya dampaknya kasus positif Covid-19 tinggi kontribusinya dari tempat itu. Ketika sekarang kita mulai concern, seharusnya pelarangan ke tempat liburan harus terus dipertegas dan konsisten serta menyeluruh tidak parsial,” pungkasnya.
(bus/bti)