
Di tengah riuhnya arus dinamika militer, sedikit perwira yang mampu mempertahankan wibawa sekaligus menyentuh nurani seperti Farid Makruf. Jenderal TNI bintang dua ini bukan hanya dikenal sebagai prajurit Kopassus tangguh dan komandan di medan konflik, melainkan juga sebagai “jenderal kemanusiaan” yakni figur yang memikul tanggung jawab besar ketika negeri diuji oleh alam. Dalam karier panjangnya di TNI AD, jejaknya dalam penanggulangan bencana mencerminkan komitmen seorang prajurit kepada rakyat.
Perjalanan Farid Makruf bukan berasal dari garis mulus. Ia dilahirkan di Bangkalan, Madura, dan pernah membantu ibunya berjualan di pasar tradisional. Namun ia tumbuh menjadi lulusan Akademi Militer (1991), dari kecabangan Infanteri/Kopassus.
Selama puluhan tahun berkarier, ia menduduki beragam jabatan strategis, mulai dari Danbrigif 13/Galuh, Asops Kasdam IX/Udayana, Kasrem, Danrem 162/Wira Bhakti, Danrem 132/Tadulako hingga Panglima Kodam V/Brawijaya dan Kaskostrad.
Sejak 3 Juni 2024, Farid dipercaya sebagai Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Sumber Kekayaan Alam di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), posisi yang membawanya dari lorong hutan Kopassus ke meja strategi nasional.
Peralihan dari medan konflik ke panggung akademis dan kebijakan, tidak mengikis semangatnya. Sebaliknya, ia menunjukkan bahwa ketahanan nasional perlu dibangun tidak hanya lewat kekuatan militer, tetapi juga lewat kesiapsiagaan menghadapi bencana dan sengketa sosial.
Menurut Farid, organisasi menyatu dengan nilai moral: integritas, loyalitas, kerjasama, inovasi. Prinsip-prinsip inilah yang membentuk fondasi organisasi militer dan menjadi sangat relevan ketika TNI berhadapan dengan tugas non militer seperti bencana alam.
Dalam pandangannya, ketahanan nasional tidak hanya soal satah konflik atau pertahanan, tetapi juga ketangguhan menghadapi krisis, kemiskinan, perubahan iklim, bencana dengan semangat kolektif, disiplin, dan kesiapsiagaan.
Eksperiensinya di medan konflik memberi pemahaman bahwa ketika sistem sosial runtuh masyarakat butuh pemimpin yang sigap, manusiawi, dan mampu mengorganisir. Bagi Farid, tugas TNI tidak selesai setelah perang berakhir. tanggung jawab terhadap rakyat tetap ada ketika mereka terpuruk oleh bencana alam.
Jenderal Kemanusiaan, Aksi Nyata di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah
Meski banyak publikasi dan wacana tentang peran TNI dalam penanggulangan bencana, kisah konkret di lapangan yang melibatkan Farid menunjukkan bahwa komitmen itu lebih dari sekadar jargon. Berikut beberapa jejaknya. Pertama, banjir Bima (2016). Pada tahun 2016 lalu, Kota Bima terkepung banjir, terisolir, warga kesulitan pangan dan air. Saat itu Farid, yang waktu itu menjabat Danrem 162/Wira Bhakti, ditunjuk sebagai Dansatgas penanggulangan. Ia mengerahkan TNI, Polri, relawan, dan memohon dukungan alat berat dari Mabes TNI. Akses jalan dan komunikasi dipulihkan, jembatan serta jalur darurat dibangun, dapur umum dan layanan kesehatan massal didirikan. Hanya dalam waktu singkat, kehidupan warga mulai berangsur normal. Hal ini jelas sangat kontekstual dengan fungsi TNI dalam bencana.
Kedua, penanganan gempa di Lombok dan gempa Palu-Donggala. Sebagai Komandan Satgas Gabungan Terpadu (Kogasgabpad) pasca gempa Lombok pada tahun 2018, Farid memimpin program pembangunan rumah relawan yang diperkirakan unit rumah bernilai puluhan juta rupiah dibangun untuk korban. Ketika memimpin Korem 132/Tadulako, wilayah Palu-Donggala terdampak gempa dan tsunami; TNI di bawah koordinasi bersama relawan dan institusi sipil menjalankan evakuasi, distribusi logistik, rehabilitasi sarana, serta rekonstruksi.
Ketiga, pemakaian model civil-military coordination dan mitigasi bencana. Langkah-langkah yang diambil Farid mulai dari evakuasi korban, logistik, pembangunan hunian darurat, hingga rehabilitasi infrastruktur, mencerminkan peta besar peran militer dalam bencana yang bukan sekadar pengerahan kekuatan, tapi koordinasi dengan masyarakat, relawan, pemerintah daerah, persis seperti yang dipaparkan dalam literatur peran TNI dalam bencana.
Jejak tindakan nyata itu membuat nama Farid bukan sekadar perwira, tapi simbol integritas militer yang merespon penderitaan rakyat dengan tanggung jawab dan rasa kemanusiaan.
Menurut publikasi militer dan kebencanaan, meskipun TNI memiliki peran penting dalam penanggulangan bencana seperti evakuasi, logistik, dan rehabilitasi, pelaksanaannya sering terhambat oleh koordinasi, regulasi, dan kapasitas alat.
Farid melihat ini sebagai tantangan sekaligus peluang. Ia pernah menyampaikan di berbagai forum bahwa nilai organisasi, fleksibilitas, dan sistem komando adalah modal penting untuk respons yang cepat dan terstruktur; bahwa “disiplin tak pernah pensiun” bukan semboyan, tapi cara memandang tugas militer sebagai abdi negara dan rakyat, terutama ketika mereka terpuruk karena alam.
Dari Lemhannas, Farid kini berada di posisi strategis untuk memengaruhi kerangka kebijakan nasional mulai bagaimana TNI, BPBD/BNPB, pemerintah daerah, dan sipil bisa benar-benar bersinergi membangun ketahanan bencana, bukan hanya reaktif, tetapi preventif dan berkelanjutan.
Mengapa Figur Farid Penting untuk Indonesia yang Rawan Bencana
Indonesia adalah negara ring of fire dan kepulauan luas sehingga rentan gempa, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan gunung, dan bencana lainnya. Dalam situasi seperti ini, respons cepat dan terorganisir sangat menentukan banyak nyawa dan harapan.
Farid mengingatkan bahwa kekuatan TNI bisa jadi unsur kunci dalam mitigasi dan penanganan bencana, bukan sebagai kekuatan militer yang menakutkan, tapi sebagai pelindung rakyat dengan rasa kemanusiaan dan profesionalisme.
Dalam era di mana bencana menjadi bagian nyata kehidupan, figur seperti Farid memberi harapan bahwa militer dan warga sipil bisa berjalan bersama membangun ketangguhan sosial, kemanusiaan, dan ketahanan nasional.
Farid Makruf adalah cermin bahwa militer di Indonesia bisa lebih dari sekadar alat pertahanan, tetapi juga bisa menjadi tulang punggung ketika negeri terpuruk oleh alam, menjadi pelindung ketika rakyat kehilangan tempat berteduh, air, dan harapan.
Perjalanan hidupnya dari anak Madura yang kerja keras di pasar, hingga menjadi prajurit Kopassus, perwira lapangan, komandan bencana dan kini analis ketahanan nasional, menunjukkan bahwa di balik seragam dan senjata, ada komitmen untuk bangsa, nilai, dan rasa kemanusiaan.
Di masa depan, ketika gempa atau banjir kembali mengguncang negeri, figur seperti Farid dan nilai-nilai yang ia bawa bisa jadi penopang penting bagi harapan rakyat bahwa sekeras apa pun alam mengguncang akan tetapi TNI, pemerintah, dan rakyat bersama bisa membangkitkan kembali kehidupan. Semoga.
BUSTOMI
Direktur Eksekutif Institute for Strategic and Political Studies (INTRAPOLS) dan Mahasiswa Program Doktoral FISIP UNAIR



